OKU RAYA, Lensa Nusantara – Cara-cara memilih Bupati dan Wakil bupati, saya teringat kawan saya dahulu sewaktu sekolah untuk medapatkan pacar.’ Begitu Senang nya mengungkapkan kata cinta kepada banyak wanita karna semakin banyak diungkapkan, semakin besar peluang kita untuk mendapatkannya. Ada yang sudah pacaran,’ trus mau ganti pacar’ dicari dulu yang baru untuk pengganti nya, jika sudah ada respon kemudian baru diputus cewek yang lama, Ada pula yang pasangan yang lama dan yang baru.’ Keduanya di jalani dengan susah payah.
Kita berpacaran itu tanpa prinsip dan etika sama juga halnya mencari pasangan politik tanpa karakter dan nilai. Pertimbangannya hanya untuk bisa menang. Bisa kita maklumi mengapa pasangan Pilkada Bupati dan Wakil bupati melakukan seperti itu. Dalam konstitusi kita pasangan Pilkada bisa dicalonkan jika memenuhi 20 % kursi DPRD. Maka dari itu, seorang calon harus mencari pasangan yang memiliki partai pengusung.’ lalu dukungan partai politik keduanya cukup untuk meraih tiket menjadi pasangan calon.
Tatanan teoritis dipelajari etika, tetapi dalam praktek hampir semuanya oportunis. Hampir tidak ada yang memiliki apa yang disebut komitmen. Serba oportunis. Apa yang diharapkan dari seorang yang oportunis? Hidup tanpa karakter. Seorang yang mepunyai pacar lebih dari satu jika ketahuan, resikonya yaitu ditinggal semuanya, yakan?
Dalam praktek politik sulit diharapkan yang ideal, karena itulah ada perjuangan nilai dan etika. Jika melanggar nilai dan etika, lebih baik tidak mencalonkan. Itu kalau memiliki prinsip. Hal itu bisa terjadi jika calon sudah jauh hari terjun ke dunia politik. Jika seseorang sudah lama berpolitik, maka jauh hari sudah mempersiapkan diri dan memahami peta politik.
Seseorang yang lama berpolitik dan memahami peta politik bisa saja digilas oleh dinamika politik karena adanya kekuatan baru. Lalu, bagaimana menyikapi dinamika politik yang begitu dahsyat itu’? Jika harus mencari pasangan baru maka dibicarakan dari hati ke hati. Contoh nya Jokowi ketika di isukan berpasangan dengan Mahfud MD dan tiba tiba diganti dengan pasangan KH M Amin sangat elegan. Jokowi bicara empat mata dari hati ke hati dengan Mahfud MD yang saat ini menjadi Menko Polhukam.’ Jokowi menyelesaikan itu dengan baik tanpa konflik.
Berpacaran itu jika ada ketidak cocokan dalam menjalin cinta, itu bisa putus tetapi putus nya dengan baik-baik. Jika putus penyebap ada yang baru maka akan timbul luka dalam hati dan sulit sekali akrab di kemudian hari. Jika putus cinta nya dengan cara baik baik maka akan bersahabat sepanjang hayat. Itulah begitu pentingnya etika dan sportivitas berpacaran. Demikian juga politik, jika politisi menjaga etika dan nilai maka akan menjadi kekuatan politik yang sehat dan berkesinambungan.
Lalu bagai mana cara menghindari pacaran yang sehat? Sejatinya ada perkenalan yang cukup lama sebelum memutuskan pacaran. Jika pacaran karena emosi maka akan timbul potensi akan putus. Pertimbangan matang di semua aspek sangat menentukan potensi putus ketika sudah berpacaran.
Demikian juga di Pilkada tahun 2020. Kelihatan sekali para calon yang syahwat politiknya sangat tinggi. Melabrak etika dan nilai yang penting jadi calon. Bisa saja jadi calon karena segala cara, tetapi hasilnya akan sia sia dan menjadi sasaran kritik dan akan mengecewakan.
Pola seperti ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang baik. Orang-orang seperti itulah yang menghafal visi dan misi tanpa hasil kontemplasi. Ketika ada dialog public, hal-hal yang disampaikan ke publik adalah hafalan dari tim sukses.
Coba kita bayangkan di Pilkada 9 Desember tahun 2020 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 224 Bupati/Wakil Bupati.’ Jika kita memiliki para calon pemimpin yang opoetunis minus etika maka rakyat kita akan menjadi penerima sembako. Pemimpin yang tanpa karakter tidak akan mengahsilkan rakyat yang produktif secara kolektif. (Alhafiz)