Pangandaran, LENSANUSANTARA.CO.ID – Dalam hasil temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) tentang selisih angka dalam target pencapaian pendapatan yang sah, realisasi RSUD Pandega mencapaian pada tahun 2022 yaitu sebesar kurang lebih Rp 114 M dari yang ditargetkan Rp 145 M.
Menurut keterangan pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pandega dr. Titi dan Topik Bagian Keuangan, menerangkan ketika ditemui di ruangannya, bahwa angka yang Rp 145 M itu kemungkinan disamakan atau angka include dengan Puskesmas karena kode rekeningnya juga sama.
“Karena sejak awal kami menyanggupi target hanya sebesar Rp 89 M, tapi kami ternyata realisasinya pencapaian lebih dari Rp 89 M dengan target mencapai Rp 114 M dan itu dilaporkan ke BKAD Kabupaten Pangandaran dengan pendapatan lainnya yang sah, contoh pendapatan tersebut adalah klaim dari BPJS, pendapatan dari pasien umum, itu adalah pendapatan lainnya yang sah,“ ungkap Topik. Selasa, (01/08/2023) siang hari.
“Sebetulnya kami itu ditarget oleh Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) sebesar Rp 145 M, yang ajuan awal kami cuma Rp 29 M, dan ada perubahan lagi Rp 89 M, serta realisasi target kami di tahun 2022 sebesar Rp 114 M. Karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut bukan bentuk retribusi, dan lagi sayangnya kami tidak tau masalah target menjadi Rp 145 M, kalau kami tau mungkin ajuannya akan kami rubah kembali,“ ungkapnya.
Tapi menurut Apudin, Ketua Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) Kabupaten Pangandaran, bahwa itu bukan angka include dengan Puskesmas, karena yang jadi temuan dituangkan disana adalah BLUD Rumah Sakit Pandega-nya. Menurutnya ini bisa berasumsi dampak ketika BKAD sudah melaporkan ke BPK RI ini sudah jelas laporan keuangan BKAD berarti sudah siap untuk di audit.
“Analogi saya (Apudin) ketika membuat target pencapaian dipaksakan akan menjadi system yang diduga adanya manipulasi data atau pasien yang menjadi sasaran pemanfaatan oleh pihak–pihak tertentu, seperti perawatan pasien rawat inap atau rawat jalan yang ditanggung oleh BPJS itu semua sudah di cover oleh BPJS tersebut, tiba-tiba ada obat yang harus ditebus di apotek luar Rumah Sakit, padahal apotek tersebut sudah ada kerjasama dengan pihak Rumah Sakit, maka pihak pasien lah yang mejadi sasaran untuk mencapai target yang terlalu dipaksakan tersebut,” pungkasnya. (N.Nurhadi)