Pamekasan, LENSANUSANTARA.CO.ID – Kasus kekerasan seksual masih menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan kasus-kasus tindak kekerasan yang lain, tidak hanya di Kabupaten Pamekasan tetapi di seluruh Kabupaten lain di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Ummi Supraptiningsih, Koordinator Devisi Hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan & Anak (PPTP3A) Pamekasan ini menyebut bahwa di Kabupaten Pamekasan sendiri selama tahun 2023 terhitung dari bulan Januari sampai Juli sudah terjadi 6 kasus.
“Di tahun sebelumnya kalau tidak salah ada 9 kasus kekerasan seksual dan itu yang terlaporkan dan terproses. Kenapa saya sampaikan seperti itu karena kasus-kasus kekerasan seksual itu yang sudah dilaporkan tapi mereka memilih berdamai,” ungkapnya. Kamis (03/8/2023).
Menurutnya, jika melihat dari kacamata hukum pihaknya sangat menghindari proses tersebut, pihaknya juga menginginkan pelaku kekerasan seksual betul-betul diberikan sanksi.
“Lebih-lebih kalau pelakunya dewasa, tapi kalau pelakunya anak-anak itu kan ada yang namanya diversi (pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.red), tapi diversi itu bisa berhasil apabila ancaman pidananya dibawah 7 tahun. Sedangkan kekerasan seksual itu ancaman pidananya 15 tahun kalaupun toh putusan minimalnya 5 tahun, itu yang terjadi di masyarakat kita,” tambahnya.
Lebih lanjut, berbicara ABH (anak yang berhadapan dengan hukum) ada anak pelaku, ada anak korban dan ada anak saksi. Secara khusus 6 kasus tersebut merupakan korban kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan.
Sedangkan kasus yang lain, seperti kasus perkelahian, narkoba, dan pencurian yang akhir-akhir ini juga banyak dilakukan oleh anak-anak.
Selanjutnya, dikarenakan yang banyak menjadi korban kekerasan seksual ini didominasi anak yang masih di usia SD dan SMP. Maka dari itu Ummi sapaan akrabnya berpesan terutama kepada orang tua untuk lebih melakukan kontrol terhadap anaknya.
“Kontrol dalam hal ini anak ada dimana, anak ini sekolah dimana, apakah di sekolahnya atau pesantrennya dia aman. Dan komunikasi yang harus dibangun antara orang tua dan anak, harus intensif komunikasi, jangan sampai kejadiannya sudah sekian tahun yang lalu anak baru cerita. Dan kebanyakan seperti itu,” terangnya.
“Tahun kemarin saja, itu kejadiannya sudah empat kali dan itu anak TK yang dicabuli anak SMP, itu kejadiannya sudah empat kali dan anak itu baru cerita. Itulah yang saya katakan bangunan dalam rumah tangga harus kokoh,” pungkasnya. (Rofiuddin).