Pendidikan

Johannes: Regulasi sudah mengatur seragam sekolah gratis hanya buat warga miskin

×

Johannes: Regulasi sudah mengatur seragam sekolah gratis hanya buat warga miskin

Sebarkan artikel ini
Johannes, MP Tetelepta
Johannes, MP Tetelepta, S.H, M.M, Wakil Ketua DPRD Dumai.

Dumai, LENSANUSANTARA.CO.ID – Wakil Ketua DPRD Kota Dumai menyoroti program baju seragam sekolah gratis yang diwacanakan salah satu paslon di Pilkada serentak kota Dumai 2024. Menurutnya mengratiskan seragam bagi seluruh anak didik bukan program yang prioritas.

Ketua DPC Partai Gerindra tersebut menegaskan bahwa Rencana Pemerintah Jangka Menengah Derah (RPJMD) kota Dumai baru saja di revisi hingga tahun 2026. Hal itu memuat penyempurnaan berbagai program berkhidmat seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.

Example 300x600

Terkait wacana baju seragam sekolah gratis dalam hitung-hitungan data 2023, jika setiap anak ditanggung Rp.2,5 hingga Rp.3 juta maka akan menghabiskan anggaran Rp.40 sampai Rp.50 miliar setiap tahun hal itu meliputi setiap anak baik dari keluarga kaya maupun miskin.

“Itu sangat tidak relevan, regulasi sudah mengatur yang harus mendapat bantuan baik itu seragam sekolah gratis yakni keluarga miskin. Oleh sebab itu dibutuhkan data valid hingga penerima menjadi tepat sasaran,” jelasnya.

Jika berandai-andai bahwa hal itu akan dipaksakan kata Johannes di DPRD itu isinya tidak satu partai saja. Setiap anggota DPRD akan memprioritaskan permasalahan masyarakat yang lebih mendasar dan prioritas.

“Kalau untuk orang miskin kita sepakat, dan itu sudah dilakukan masa pemerintahan H Paisal. Namun yang kita sangkal adalah program bagi seluruh anak, ini janji asal warga senang. Padahal dalam aturan tidak membenarkan hal itu. UUD 1945 tegas mengatur yang harus di bantu itu warga miskin dan anak terlantar dan itu persentasenya cukup kecil tidak harus menghabiskan puluhan miliar,” tegasnya.

Terkait pola penganggaran kata Johannes, muatan dalam APBD itu isinya bukan duit gelondongan dan tidak bisa dibuat sesuka hati. Ada peruntukan dan regulasi yang harus dipatuhi dan tidak bisa keluar dari jalur tersebut.

“Dari 2,3 triliun itu 1, triliun habis buat gaji dan honor ASN/ P3K, 300 miliar itu dana tranfer pusat yang sudah ada peruntukannya sebagaimana program yang sudah kita usulkan kepada pemerintah pusat dalam RPJMD. Jadi untuk menghabiskan puluhan miliar hanya buat menanggung baju gtlratis semua anak itu mengada-ngada, kita sebagai badgeting tidak akan sepakat di DPRD,” ucapnya.

Disoal terkait perubahan RPJMD, Johannes menegaskan bahwa setiap program harus ada justifikasi sehingga apa yang ditawarkan kepada masyarakat bisa diwujudkan dengan maksimal.

“Regulasi apa yang mereka pakai dan justifikasi apa yang mau dia sampaikan terhadap proses program yang mereka tawarkan?. Anggota DPRD berbicara mewakili konstituennya, berdasarkan program-program prioritas yang menyentuh banyak orang, bukan sekedar menyenangkan hati masyarakat dengan janji. Masyarakat harus jernih berfikir sebenarnya Dumai dengan anggaran yang terbatas lebih mengutamakan program prioritas yang mana,” sebutnya.

Dia menambahkan, bahwa masing-masing anggota DPRD berbicara mewakili konstituennya, dalam hal menjemput aspirasi DPRD menilai dan menghimpun masukan sehingga paham apa yang menjadi prioritas dan berpengaruh pada orang banyak.

Sementara itu, lanjutnya, pemerintah bekerja pada sisi tekhnokratik juga berdasarkan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam visi misi pemerintah juga visi misi kepala daerah.

“Penyampaian secara nyata antara teori dan pelaksanaannya perlu disampaikan kepada masyarakat umum sehingga kita bisa menyampaikan secara utuh segala kemungkinannya bukan dengan janji yang penting masyarakat senang. Semua harus terukur dan terarah sehingga masyarakat bisa menggunakan fikiran yang jernih dengan keterbatasan anggaran kita lebih mengutamakan program prioritas yang mana bagi orang banyak,” cetusnya.

“Saya gak takut orang mau menilai saya apa, tapi saya akan mengedepankan yang lebih luas dampak positifnya bagi masyarakat Dumai, bukan hanya mengiyakan janji-janji tetapi kita tidak mampu mengukurnya dan dampaknya,” tambahnya lagi.

Pada dasarnya tegas Johannes, bantuan yang ideal itu diberikan kepada orang miskin dan anak terlantar, sehingga sesuai pada porsi dan kebutuhannya. Sedangkan alokasi yang tidak seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal prioritas lain yang mencakup kebuthaan lebih luas bagi masyarakat.

Terpisah, salah seorang jurnalis senior, Faisal menilai hal yang sama, bahwa wacana baju seragam gratis yang dilemparkan pada momen politik sarat dengan muatan elektoral meraup suara pemilih.

Janji baju seragam gratis jangan sampai menjadi bentuk pembodohan politik ke publik.

Sejauhmana efektifitas program baju seragam gratis, menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikutip dari pusaranmedia.com hanya 30 persen atau tidak tepat sasaran.

Hal itu melihat persentase orang yang benar-benar miskin lebih rendah daripada keluarga yang mampu.

Menurutnya, besarnya “opportunity cost” yang ditanggung bisa berdampak terhadap program peningkatan kesejahteraan sosial yang harus dikorbankan akibat “proyek” seragam gratis.

Parahnya lagi, program gratisan juga bisa melahirkan sikap mental mengemis. menghasilkan warga negara yang tergantung, bahkan warga dengan karakter peminta-minta. Mental pengemis jauh dari sikap mandiri sebagai bangsa.

“Kembali saja kepada amanah pasal 35 UUD 1945: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Program seragam gratis lebih tepat diberlakukan buat mereka. Bukan buat orang kaya dan berada, apalagi buat Anda-anda yang kebutuhan hidupnya sudah ditanggung oleh negara,” pungkasnya.**

**) IIkuti berita terbaru Lensa Nusantara di Google News klik disini dan jangan lupa di follow.