Makassar, LENSANUSANTARA.CO.ID – Anggota DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) Patarai Amir mempertanyakan keberhasilan Pemprov Sulsel mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap LKPD tahun 2024.
“Kami apresiasi WTP dari BPK. Namun, ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan,” kata Patarai Amir saat menginterupsi rapat paripurna Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK di gedung DPRD Sulsel, Rabu (28/5/2025).
Patarai Amir mempertanyakan mengapa laporan keuangan Pemprov Sulsel bisa mendapat WTP, padahal ada program Rp32 miliar yang tidak tercatat dalam APBD 2024.
Duit sebanyak itu pun tetap digunakan Pemprov Sulsel meski tidak masuk dalam struktur APBD.
“Adanya anggaran yang ada tidak ada di APBD sebesar 32 miliar, itu tetap kami apresiasi. Adanya kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD 32 miliar sehingga bisa memperoleh WTP,” ujarnya.
Adanya program Rp32 miliar tidak tercatat dalam APBD, juga diungkap BPK sebagai catatan atas kondisi keuangan Pemprov Sulsel.
Kondisi itu disebut BPK sebagai belanja melebihi alokasi anggaran. Hal ini membebani keuanhan dan menyebabkan APBD Sulsel kehilangan fungsi otorisasi.
Selain program Rp32 miliar tidak masuk dalam APBD, Patarai Amir juga menyoroti kondisi pelayanan kesehatan pada rumah sakit milik Pemprov Sulsel.
Patarai mengungkapkan bahwa masih ada rumah sakit kekurangan obat-obatan karena proses pengadaan dianggap berbelit sehingga mengganggu pengobatan pasien.
“Di tengah euforia WTP, kami mendapat laporan ada rumah sakit kekurangan obat. Kami langsung melakukan sidak pagi tadi dan berdiskusi dengan pihak rumah sakit,” tutur legislator Fraksi Golkar itu.
“Kepala BKAD dan Bappeda boleh bangga dengan WTP, tapi jangan lepas tangan dengan mekanisme yang menghambat pengadaan obat. Padahal rumah sakit ini BLUD yang harusnya punya fleksibilitas,” tegas Patarai.
Ia menambahkan, pihak rumah sakit meminta waktu satu hingga dua bulan untuk menyesuaikan dengan kebijakan baru tersebut.
“Ini sebagai catatan BPK, nanti perihal apa yang terjadi di RS,” tandas mantan Ketua DPRD Maros ini.
Diberitakan sebelumnya, BPK juga menyoroti tunggakan dana bagi hasil (DBH) kepada kabupaten-kota yang belum disalurkan Pemprov Sulsel.
Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III BPK RI, Dede Sukarjo mengatakan, utang DBH Pemprov Sulsel kepada kabupaten-kota menghambat pelayanan masyarakat.
Selain itu, BPK juga menyoroti perbandingan antara ketersediaan kas dan piutang Pemprov Sulsel.
Timpangnya utang belanja dan dana transfer, kata Dede, menunjukkan bahwa Pemprov Sulsel belum dapat menyelesaikan kewajiban jangka pendek
“Catatan-catatan ini harus menjadi fokus perbaikan bagi Pemprov Sulsel untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah,” jelas Dede dalam rapat paripurna di DPRD Sulsel.
Wakil Gubernur Sulsel Fatmawati Rusdi, mendengarkan seluruh aspirasi yang disampaikan DPRD dan BPK.
Fatmawati Rusdi, mengakui bahwa meskipun Pemprov Sulsel kembali meraih opini WTP dari BPK RI, kualitas pelayanan pemerintah belum sepenuhnya maksimal.
“Pelaksanaan pemeriksaan keuangan oleh BPK diharapkan bisa memberi manfaat besar bagi Pemprov Sulsel, khususnya dalam meningkatkan kualitas perencanaan anggaran dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,” ujar Fatmawati.
Ia pun menekankan kepada seluruh OPD lingkup Pemprov Sulsel agar ke depan lebih efisien dan efektif.
Terlebih harus transparan dalam mengelola anggaran serta taat terhadap ketentuan perundang-undangan.(Muchtar)