Berita

Kuasa Hukum Ketum Ormas BMT Laporkan Dugaan Penganiayaan Oleh Oknum Perusahaan Sawit Ke Polres Kobar

32
×

Kuasa Hukum Ketum Ormas BMT Laporkan Dugaan Penganiayaan Oleh Oknum Perusahaan Sawit Ke Polres Kobar

Sebarkan artikel ini
Caption : Kuasa Hukum Ketua Umum Ormas BMT Beri Keterangan Kepada Awak Media

Kotawaringin Barat, LENSANUSANTARA.CO.ID  – Kuasa Hukum Ketua Umum Ormas Betang Mandau Talawang (BMT), Kristianto D. Tunjang atau yang akrab disapa Deden, yakni Marden A. Nyaring, SH, MH, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melaporkan dugaan penganiayaan dan tindakan sewenang-wenang yang dialami kliennya ke Polres Kotawaringin Barat. Laporan tersebut telah dibuat di SPKT Polres Kobar pada 17 Juni 2025, dan kini statusnya telah naik dari lidik ke sidik.

“Kami berharap penyidik Satreskrim Polres Kobar serius menindaklanjuti laporan kami. Klien kami menjadi korban kekerasan saat menegur aktivitas pemanenan yang dilakukan di luar HGU PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (GSIP),” kata Marden kepada awak media di halaman Mapolres Kobar, Jumat (11/7/2025).

Example 300x600

Menurut Marden, insiden bermula saat kliennya menerima laporan dari Awen, salah satu pengawas lapangan, terkait aktivitas panen buah sawit yang diduga dilakukan di luar area HGU PT GSIP. Merespons laporan tersebut, Deden bersama sopirnya Melky langsung menuju lokasi.

Sesampainya di tempat kejadian, Deden mendapati para pekerja sedang memanen sawit. Ia kemudian menegur secara baik-baik agar aktivitas dihentikan karena lahan tersebut masih dalam sengketa dan berada di luar izin resmi perusahaan berdasarkan telaah BPN.

Deden juga menyampaikan hal itu kepada mandor, security, dan dua oknum anggota TNI yang berada di lokasi. Namun, tak lama kemudian datang dua mobil berisi sejumlah orang, salah satunya Agus Wantara selaku CDO PT GSIP, dan lainnya yang tidak dikenal. Salah satu dari mereka justru memerintahkan agar aktivitas panen dilanjutkan.

Saat Deden berupaya menghentikan kegiatan tersebut, sekelompok orang langsung menyerangnya secara fisik, mencekik leher, memelintir tangan, dan memborgolnya. Ia juga mengaku diseret, dipukul, serta dipaksa naik ke atas bak mobil bersama tiga anggota timnya.

Mereka kemudian dibawa ke area sepi di sekitar Blok PT AMR dan diinterogasi secara tidak manusiawi. Bahkan, menurut Marden, sempat ada tembakan peringatan di dekat telinga Deden serta ancaman pembunuhan oleh oknum yang membawa senjata tajam.

“HP klien kami dirampas, data dihapus, dan mereka disuruh duduk di tanah dalam keadaan diborgol. Klien kami juga diintimidasi dan dicap sebagai preman. Semua itu sangat melanggar hukum dan hak asasi manusia,” tegas Marden.

Deden menyampaikan bahwa dirinya menegur aktivitas pemanenan berdasarkan surat telaah dari ATR/BPN Nomor: IP/971-62.01/IV/2025 tertanggal 11 Juni 2025, yang menyatakan bahwa titik koordinat lokasi tersebut berada di luar HGU PT GSIP dan belum memiliki status hak atas tanah.

“Justru tujuan kami adalah menyelesaikan konflik lahan ini secara baik, melalui kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah desa agar ada manfaat sosial seperti fasilitas umum,” ujar Deden dalam kesaksiannya.

Setelah beberapa jam ditahan di lokasi tersebut, rombongan kemudian dibawa menuju Pangkalan Bun. Anehnya, mereka sempat diajak makan oleh pihak perusahaan sebelum akhirnya dibawa ke SPKT untuk visum malam harinya. Deden juga menyebut bahwa mobil pribadinya disita oleh pihak yang membawanya.

Kuasa hukum berharap aparat penegak hukum dapat bertindak objektif dan profesional dalam menangani kasus ini. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil, terutama terhadap dugaan kekerasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum perusahaan maupun aparat di lapangan.

“Ini bukan hanya soal lahan, tapi juga soal hak asasi dan perlakuan terhadap warga negara. Kami akan terus kawal proses ini,” pungkas Marden.(Firman Muliadi).