Dewan Pers resmi mengumumkan aturan baru yang membatasi jumlah jabatan bagi seorang pemimpin redaksi (pemred) di media massa. Aturan tersebut menetapkan bahwa seorang pemred hanya diperbolehkan memimpin maksimal dua media dalam waktu bersamaan. Kebijakan ini dinilai penting untuk menjaga independensi, profesionalisme, dan keberlangsungan ekosistem pers di Indonesia.
Latar Belakang Kebijakan
Fenomena rangkap jabatan di kalangan pemimpin redaksi bukanlah hal baru. Seiring pesatnya perkembangan media, terutama media online, banyak perusahaan pers mempercayakan posisi strategis kepada sosok yang sama untuk memimpin lebih dari dua redaksi sekaligus.
Namun, praktik tersebut menimbulkan sejumlah persoalan. Pertama, beban kerja yang terlalu besar membuat pemred sulit menjalankan tugas pengawasan dan kepemimpinan redaksional secara optimal. Kedua, rangkap jabatan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama ketika media yang dipimpin memiliki kepentingan bisnis atau arah editorial yang berbeda.
Ketua Dewan Pers menegaskan bahwa regulasi ini hadir untuk melindungi integritas profesi jurnalis. “Pemimpin redaksi adalah garda terdepan dalam menjaga kualitas jurnalistik. Jika satu orang memimpin terlalu banyak media, tentu akan sulit memastikan semua berita berjalan sesuai kode etik dan standar profesi. Karena itu, pembatasan ini harus dipandang sebagai langkah untuk memperkuat dunia pers, bukan sebagai penghalang,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Tugas Strategis Pemimpin Redaksi
Sebagai figur sentral dalam ruang redaksi, pemred memiliki tanggung jawab besar. Ia bukan hanya menentukan arah editorial, tetapi juga menjadi penjamin independensi pemberitaan. Pemred juga bertugas mengawasi penerapan Kode Etik Jurnalistik, melatih jurnalis, serta mengantisipasi risiko hukum yang mungkin timbul dari produk berita.
“Kalau pemred rangkap terlalu banyak jabatan, tentu tidak bisa hadir penuh di masing-masing redaksi. Akibatnya, kualitas pemberitaan bisa turun, bahkan bisa memicu kesalahan fatal yang merugikan publik,” jelas seorang anggota Dewan Pers.
Oleh karena itu, pembatasan ini diyakini mampu memastikan setiap media memiliki pemimpin redaksi yang benar-benar fokus dan bertanggung jawab pada kualitas redaksi yang dipimpinnya.
Pencegahan Konflik Kepentingan
Selain alasan efektivitas, kebijakan ini juga dirancang untuk mencegah konflik kepentingan. Misalnya, seorang pemred yang memimpin lebih dari dua media bisa saja menghadapi situasi di mana masing-masing redaksi memiliki pandangan atau kepentingan editorial yang berbeda.
“Bayangkan satu pemred mengendalikan beberapa media sekaligus, padahal masing-masing media punya visi, misi, dan target pembaca yang berbeda. Itu bisa menimbulkan tumpang tindih dan menurunkan independensi,” terang pakar komunikasi dari salah satu universitas negeri.
Dengan pembatasan ini, setiap media diharapkan mampu berdiri dengan independensi masing-masing, tanpa bayang-bayang dominasi satu orang yang terlalu kuat.
Dorongan Regenerasi Kepemimpinan
Kebijakan ini juga dipandang sebagai momentum penting untuk mendorong regenerasi kepemimpinan di dunia pers. Selama ini, masih ada kecenderungan beberapa perusahaan media menggantungkan posisi pemred kepada segelintir nama besar, sehingga kesempatan bagi generasi baru menjadi lebih kecil.
Dengan aturan pembatasan, perusahaan pers perlu mempersiapkan kader baru yang siap memimpin redaksi. Hal ini akan membuka ruang bagi jurnalis muda yang memiliki kompetensi, integritas, dan visi yang segar dalam mengembangkan perusahaan pers.
“Media harus berani melahirkan pemimpin baru. Kalau hanya mengandalkan satu atau dua orang yang itu-itu saja, regenerasi tidak akan berjalan. Padahal dunia media sangat dinamis, membutuhkan inovasi dan pemikiran baru,” kata seorang pengurus organisasi wartawan nasional.
Tanggapan Publik dan Industri
Respon terhadap kebijakan Dewan Pers ini beragam. Sebagian besar organisasi jurnalis, akademisi, dan praktisi media memberikan dukungan penuh. Mereka menilai kebijakan ini akan membantu memperkuat profesionalisme dan menjaga kredibilitas media di mata publik.
Di sisi lain, ada juga sejumlah perusahaan media yang meminta masa transisi lebih panjang. Mereka beralasan butuh waktu untuk menyiapkan calon pemimpin redaksi baru yang sesuai dengan standar kompetensi dan regulasi Dewan Pers.
Namun, Dewan Pers menegaskan bahwa masa transisi akan diberikan dengan waktu yang cukup agar media bisa beradaptasi. “Kami memahami situasi di lapangan, oleh karena itu, ada masa penyesuaian. Tapi prinsipnya jelas, aturan ini harus ditegakkan,” ujar perwakilan Dewan Pers.
Implikasi untuk Ekosistem Pers
Kebijakan ini bukan sekadar aturan administratif. Dampaknya diyakini akan sangat signifikan bagi ekosistem pers Indonesia. Pertama, media akan lebih fokus membangun struktur organisasi yang sehat dan tidak bergantung pada satu orang. Kedua, keberagaman kepemimpinan akan menciptakan variasi perspektif dalam pemberitaan. Ketiga, publik diuntungkan karena berita yang disajikan diharapkan lebih berkualitas, berimbang, dan independen.
Selain itu, aturan ini juga akan memperkuat posisi jurnalis di dalam redaksi. Dengan pemred yang fokus hanya di satu atau dua media, perhatian terhadap pembinaan jurnalis dan peningkatan kompetensi akan lebih maksimal.
Penetapan aturan pembatasan rangkap jabatan untuk pemimpin redaksi merupakan langkah penting Dewan Pers dalam menjaga profesionalisme dan independensi media di Indonesia. Meskipun tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hal adaptasi perusahaan pers, kebijakan ini diyakini akan membawa dampak positif bagi masa depan dunia jurnalistik.
Dengan adanya regulasi ini, Dewan Pers berharap tercipta tata kelola media yang lebih sehat, regenerasi kepemimpinan yang berkesinambungan, serta produk jurnalistik yang lebih berkualitas untuk kepentingan publik.
“Pers adalah pilar demokrasi. Karena itu, pemimpin redaksi sebagai ujung tombak media harus benar-benar fokus menjalankan perannya. Aturan ini hadir untuk memperkuat, bukan membatasi,” tegas Dewan Pers.
Sumber : https://dewanpers.or.id/read/page/24-03-2024-tata-cara-pendataan