MADIUN, LENSANUSANTARA.CO.ID– Harapan untuk menempati rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sudah lama diidamkan Nur Liken Budi Santoso (45). Namun, hingga kini, impian itu tak kunjung terwujud. Bersama istri dan empat anaknya, Liken masih harus bertahan di kontrakan sempit di Jalan Raden Wijaya, Kelurahan Manguharjo, Kota Madiun.
Kondisi kontrakan yang ditempati jauh dari layak. Lantai hanya berupa semen kasar penuh retakan, atap bocor setiap kali hujan, hingga membuat air menggenang di ruang utama. Dapur dan kamar mandi yang tanpa sekat membuat bau lembap menyebar ke seluruh ruangan. Di tempat inilah, enam anggota keluarga harus hidup berdesakan setiap hari.
“Kami sudah berulang kali mengajukan rusunawa, tapi tidak ada tindak lanjut. Seharusnya masyarakat miskin dipermudah, bukan dipersulit. Kami tidak punya rumah, tapi malah terkendala aturan administrasi,” ungkap Liken lirih, Kamis (25/9/2025).
Ironisnya, Liken tercatat sebagai Desil 1 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)—kategori dengan tingkat kesejahteraan paling rendah. Namun, ia tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Hal ini lantaran alamat kontrakan berbeda dengan alamat di KTP, sehingga petugas selalu gagal melakukan verifikasi.
Ketua RT 08 RW 03 Pangonganan, Susilo, membenarkan kondisi tersebut. “Dia memang warga Pangonganan sesuai KTP. Tapi karena tidak tinggal di alamat KTP, saat verifikasi bantuan petugas tidak menemukannya di lapangan,” jelasnya.
Sejak rumah orang tuanya dijual, keluarga Liken harus berpindah-pindah kontrakan. Dengan penghasilan sebagai pengemudi ojek online dan buruh serabutan, biaya sewa rumah menjadi beban besar. Sementara itu, kebutuhan sekolah dan kesehatan anak-anaknya tetap harus dipenuhi.
Di tengah ruang yang pengap, atap bocor, serta genangan air yang kerap masuk rumah, keluarga Liken masih terus menanti kabar baik. Rusunawa yang digadang-gadang sebagai solusi bagi warga miskin, hingga kini belum benar-benar memberi mereka tempat tinggal yang layak.