Malang, LENSANUSANTARA.CO.ID – Tiga tahun sudah berlalu sejak Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022, yang merenggut 135 jiwa. Namun, luka mendalam itu belum benar-benar sembuh. Keluarga korban masih terus bersuara, menuntut keadilan yang hingga kini mereka anggap belum terwujud.
Salah satu suara yang terus terdengar adalah seorang ayah yang kehilangan dua anaknya dalam tragedi tersebut, NDR (16) dan NBA (13). Keduanya tercatat masih berusia remaja.
“Keadilan tetap akan saya perjuangkan sampai kapan pun. Kalau di dunia tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, hukuman akhirat pun akan saya kejar,” ujar Devi Athok, ayah korban.
Tragedi Kanjuruhan awalnya diproses menggunakan Pasal 359 KUHP, yaitu “Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” Bagi keluarga korban, pasal ini terlalu ringan jika dibandingkan dengan skala tragedi yang merenggut ratusan nyawa.
Karena itu, tim kuasa hukum keluarga korban kini mendorong penggunaan Laporan Model B dengan pasal yang lebih berat, yakni:
- Pasal 338 KUHP (Pembunuhan): “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”
- Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana): “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.”
“Kami menuntut agar kasus ini diungkap kembali. DPR RI harus memanggil dan mendesak Mabes Polri berani membuka kasus ini melalui Laporan Polisi Model B, dan/atau Komnas HAM wajib memastikan tragedi ini diakui sebagai pelanggaran HAM berat,” tegas Misbahul Munir, S.H., dari Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan.
Beberapa kali pihak keluarga menyurati DPR RI. Pada Agustus 2025, DPR RI baru merespons surat keluarga korban untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah pihak terkait. Namun, hingga kini belum ada kepastian tindak lanjut pelaksanaannya.
“Tragedi sebesar ini seharusnya mendapat perhatian serius. Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya dijadikan agenda politik sesaat,” tutur Misbahul Munir, S.H., Kuasa Hukum Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan.
Dalam momentum tiga tahun peringatan tragedi, keluarga korban menegaskan tiga hal pokok:
- Pengungkapan ulang kasus dengan pasal yang lebih berat, yakni Pasal 338 atau 340 KUHP.
- Desakan kepada Komnas HAM agar menetapkan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat.
- Dorongan kepada DPR RI dan pemerintah pusat untuk serius menindaklanjuti rekomendasi TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta) yang dibentuk pemerintah pada 2022.
Bagi keluarga korban, Tragedi Kanjuruhan bukan hanya peristiwa yang menelan banyak nyawa, melainkan juga meninggalkan luka mendalam yang belum sembuh. Mereka menolak tragedi ini hanya dianggap sebagai “kelalaian”, karena di baliknya terdapat bukti kuat penggunaan alat terlarang dan kekerasan berlebihan.
Tragedi ini masih menjadi pengingat bahwa dunia sepak bola Indonesia tidak hanya membutuhkan perbaikan sistem pengelolaan pertandingan, tetapi juga keberanian hukum dan politik untuk menegakkan keadilan.