Bondowoso, LENSANUSANTARA.CO.ID – Peran perempuan dalam persepektif politik dipandang terlambat, tersisih, salah satu indikatornya adalah banyak jabatan publik yang dipegang perempuan sangat sedikit. Fenomena ini tidak hanya berada ditataran elit, tapi juga merembet hingga tingkat lokal atau daerah.
Padahal peran perempuan sudah diakomodir dalam peraturan perundangan, semisal UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang menyajikan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan di Desa.
Kemendesa PDTT, dalam menjalankan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs secara global di breakdown menjadi skala Desa (lokal) untuk memperjelas sekaligus mempertegas pembangunan berkelanjutan tersebut Kemendesa PDTT mengeluarkan Permendesa PDTT No 13 Tahun 2021 Tentang Skala Prioritas Penggunaan DD Tahun 2021 dimana didalamnya menjelaskan tentang 18 Item Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Desa, salah satunya adalah Keterlibatan Perempuan Desa yang masuk dalam SDGs Desa ke 5 dari 18 Item SDGs Desa.
Peran dan status perempuan dewasa ini masih dipengaruhi masa lampau, tradisi, kultur, budaya dan praktek kehidupan sehari-hari. Keterlibatan perempuan menjadi salah syarat mutlak kemajuan berbangsa dan bernegara, serta pembangunan yang berkeadilan. Negara tidak akan pernah maju dan sejahtera jika perempuan dibiarkan tetap tersisih dan tertindas.
Hal inilah yang menjadi kunci mengapa keterwakilan perempuan sangat rendah, partisipasi perempuan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara sangat lemah. Keterwakilan perempuan yang rendah inilah kemudian mendorong gerakan atau tuntutan agar keterlibatan perempuan diberi ruang lebih untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
Melibatkan perempuan dalam proses perencanaan dan pembangunan bukan hanya bicara sisi humanisme saja, namun pelibatan perempuan itu dalam rangka mangangkat harkat, martabat dan kualitas perempuan itu sendiri.
Empowerment ; Spirit Berdesa.
Pembangunan adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial secara besar-besaran, sementara pembanguan desa menurut Mubyanto (1988 : 10) diartikan sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan yang meliputi seluruh aspek kehidupan yang dilakukan secara terpadu dengan mengembangkan swadya kegotong-royongan. Oleh karenanya pembangunan masa depan haruslah direncanakan dengan baik sebagaimana Bryan & White (1987 : 24) ungkap yakni Empowerment.
Dengan begitu masyarakat memiliki kesempatan untuk terus mengembangkan kemampuan serta perannya terlebih para perempuan yang ada di desa. Dengan demikian diharapakan menjadi tumpuan atau landasan yang kokoh bagi pembangunan yang berwawasan masa depan sekaligus berkelanjutan.
Sehingga peran serta atau partisipasi perempuan dalam bidang pembangunan benar-benar maksimal dan terukur, disinilah pentingnya pola pembangunan partisipatif.
Pola pembangunan ini merupakan merupakan pembangunan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, dengan pola pendekatan keikutsertaan masyarakat termasuk perempuan sebagai pelaku utama (Stakeholders) dalam perencanaan dan pembangunan yang akan dilaksanakan, serta untuk mengetahui segala kebutuhan, alur pikir atau pola pikir, sistem nilai, perilaku, adat istiadat serta kebiasaan dilingkungan sekitar.
Berbicara tentang perempuan, tak sedikit kajian yang menyebutk perempuan dan anak kategori kelompok rentan, yang mengalami berbagai masalah, misal kemiskiman, kekerasan dan lainnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya.
Di era emansipasi ini pun, perempuan acapkali di anggap kelas kedua (subordinat) dari kaum laki-laki, perempuan hanya dianggap becus dalam melakukan hal yang berurusan dengan rumah tangga saja.
Sebenarnya sangatlah mudah, kita perlu intervensi diruang atau ranah kebijakan. Sebagaimana penulis lakukan bersama dan sahabat-sahabat pendamping Desa Kecamatan Wonosari. Di setiap Desa ada kelompok atau organisai kemasyarakat yang dikenal dengan Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga biasa disingkat TP PKK. Disini penulis temukan selama bertahun-tahun anggaran yang di dapat hanya sebatas pembelian seragam tak lebih dan tak kurang hanya itu saja.
Sebagaimana penulis jelaskan diatas dalam rangka implementasi pembangungan berkelanjutan (SDGs) utamannya SDGs Desa ke 5 tentang Keterlibatan Perempuan Desa, dalam proses perencanaan dan penganggaran Dana Desa, Penulis beserta tim serta Ketua PKK Kecamatan melakukan Advokasi kepada Ketua PKK yang ada di Desa untuk mengusulkan kegiatan-kegiatan pemberdayaaan yang bersifat menyeluruh tidak hanya seremonial semata dan tentunya program ini menyentuh langsung ke ranah akar rumput utamanya perempuan kepala keluarga (Pekka) yang selama ini belum disentuh secara optimal.
Bahkan dalam hal penganggaran untuk Tahun Anggaran 2023 TP PKK mendapat alokasi dana sekitar 20-35% dari Pagu Dana Desa yang akan di gunakan dalam rangka pembinaan (Pendidikan dan Pelatihan) yang di canangkan oleh TP PKK masing-masing Desa, terutama dalam kegiatan Ketahanan Pangan sebagai upaya implementasi 10 Program Pokok PKK yang ada di kecamatan dan desa.
Dari hal ini diharapkan di tahun 2023 nanti, peran perempuan benar-benar terasa terutama dalam hal kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership) sehingga tumbuh dan berkembangnya dalam hal kesetaraan kewenangan (sharing power/equal powership) tak ada lagi dominasi gender tertentu.
kita semua tahu peran perempuan tidak hanya urusan keluarga semata, tapi perempuan juga bisa menjadi aktor strategis didalam pembangunan, tidak hanya di desa tapi juga nasional yang dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera.
Akhirnya, kedepan Pemerintah dan seluruh stakeholder terkait hanya perlu memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perempuan agar kontribusi yang diberikan lebih optimal.**
Selamat Hari Perempuan Desa dan Dunia.
Penulis : Moch. Efril Kasiono
Publisher : Udien