Kotawaringin Barat, LENSANUSANTARA.CO.ID – Ratusan warga Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) menghadiri persidangan Kepala Desa mereka, Syahyunie, di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Rabu (5/2/2025).
Kehadiran masyarakat secara sukarela ini disebut sebagai bentuk solidaritas terhadap pemimpin mereka, yang kini menjalani proses hukum terkait perjuangan hak plasma perkebunan sawit.
Salah satu kuasa hukum Syahyunie, Sinung Karto, didampingi rekan-rekannya, Edi dan Muhammad Irwan, menegaskan bahwa dukungan masyarakat ini murni lahir dari kepedulian mereka terhadap pemimpinnya.
“Ini bukti nyata bahwa masyarakat Tempayung menghormati dan mendukung Kades mereka. Kehadiran mereka di pengadilan menunjukkan harapan besar agar keadilan ditegakkan, karena mereka memahami bahwa Syahyunie memperjuangkan hak yang seharusnya mereka dapatkan,” ujar Sinung Karto.
Diketahui, perkara ini bermula dari aksi pemortalan akses kebun sawit milik PT. Sungai Rangit Sampoerna Agro yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes atas ketidakadilan dalam pembagian plasma perkebunan sawit.
Berdasarkan Undang-Undang Perkebunan No. 39 Tahun 2014, perusahaan perkebunan wajib mengalokasikan 20% dari total lahan mereka untuk plasma masyarakat.
Namun, hingga kini, masyarakat Desa Tempayung hanya mendapatkan 6% atau sekitar 336 hektare dari total luas perkebunan yang melebihi 5.000 hektare.
Tindakan protes warga ini justru berujung pada penetapan Syahyunie sebagai tersangka oleh Polres Kotawaringin Barat, dengan tuduhan sebagai dalang aksi pemortalan.
Pada 27 September 2024, ia ditangkap di Bandara Iskandar Pangkalan Bun setelah pulang dari perjalanan dinas di Jakarta. Meskipun tidak ditahan berkat jaminan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat dan Camat Kotawaringin Lama, Syahyunie tetap dikenai wajib lapor dan status tahanan rumah dengan pemakaian gelang pelacak GPS, yang dianggap masyarakat sebagai tindakan berlebihan.
Kuasa hukum Syahyunie, Muhammad Irwan, mengkritik dasar hukum yang digunakan dalam dakwaan terhadap kliennya. Ia menilai bahwa pasal yang dijeratkan kepada Syahyunie seharusnya tidak berlaku lagi.
“Pasal yang digunakan dalam dakwaan ini sebenarnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013, tetapi dihidupkan kembali dalam undang-undang perkebunan yang baru pada 2014. Ini menimbulkan banyak kejanggalan, dan kami mempertanyakan dasar hukum yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus ini,” jelas Muhammad Irwan.
Sementara itu, Sinung Karto menegaskan bahwa proses hukum ini harus berjalan secara transparan dan adil. Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat yang memperjuangkan hak mereka tidak boleh dikriminalisasi.
“Kami terus mendorong agar jalur hukum ditempuh dengan benar dan sesuai prinsip keadilan. Masyarakat yang memperjuangkan haknya tidak boleh dianggap sebagai ancaman, dan kepala desa yang membela warganya seharusnya tidak dikriminalisasi,” katanya.
Di luar pengadilan, masyarakat Desa Tempayung menggelar aksi damai dengan membawa spanduk bertuliskan “Plasma 20% Hak Kami” dan “Hentikan Kriminalisasi Pemimpin Rakyat”.
Mereka menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk protes damai terhadap ketidakadilan yang mereka alami selama bertahun-tahun.
Salah satu warga yang turut hadir dalam aksi tersebut menyampaikan harapannya agar kasus ini dapat diselesaikan secara adil.
“Kami hanya menuntut hak yang seharusnya diberikan kepada kami sesuai dengan undang-undang. Jika tidak ada solusi yang jelas, kami akan terus mencari keadilan,” ujarnya.
Saat ini, proses persidangan masih berlangsung, dan masyarakat Tempayung berharap ada keputusan yang berpihak kepada kebenaran serta menjamin hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.(Firman Muliadi).