Oleh : Nevrettia Christantyawati
Pada tanggal 3 Maret 2025, hujan deras mengguyur deras di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Hujan deras mengakibatkan luapan air dari sungai Citarum dan 13 kali yang melintasi Jabodetabek meluap dan menggenangi wilayah perkotaan. Tidak hanya akibat genangan banjir yang terjadi juga diakibatkan karena aliran debit air dari hulu Puncak. Sebagai akibatnya, drama kebanjiran warga Jabodetabek kembali membanjiri pemberitaan di media.
Dikabarkan bahwa korban banjir Jabodetabek mencapai lebih dari 6 ribu jiwa dan kerugian material mencapai 10 trilyun rupiah. Luas area yang terdampak banjir juga meluas sebanyak 114 RT bahkan wilayah Bekasi yang menderita paling parah dengan rendaman banjir hampir setinggi atap rumah.
Drama situasi agoni yang harus dialami oleh korban banjir adalah sebuah ritual bencana banjir tidak hanya terjadi sekali ini saja, melainkan berulangkali bahkan dikategorikan sebagai bencana lima tahunan. Apa yang bisa kita tangkap dari suara suara korban yang terekam dalam berbagai jejak pemberitaan adalah masyarakat miskin yang menderita, tidak berdaya dan nasib buruk sebagai takdir Tuhan.
Sisi lain digambarkan pemerintah yang lamban dan kalaupun ya, pastilah mereka disibukkan dengan pernyataan pernyataan bahwa banjir merupakan faktor alam dan ritual penanggulangan dengan saling klaim teknologi manjur mulai dari pembangunan waduk dan infrastruktur hingga modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir. Cerita bahwa pemerintah telah sekuat tenaga berusaha mengatasi persoalan banjir juga sering kita jumpai dalam pemberitaan banjir. Lantas, apakah ini tetap akan menjadi cerita yang sama untuk kedepannya?
Sebagai pengamat komunikasi kebencanaan, penulis mengamati drama dan narasi tentang banjir ini seolah sudah menjadi bagian konsumsi dan “kebenaran” publik dalam menghadapi ritual bencana banjir. Kita bisa buktikan bahwa bukan saja “kebenaran” ini muncul akibat narasi rutin tentang berita banjir, melainkan juga dari produk seni populer seperti lagu. Lagu dan sajak mulai dari parodi, satir hingga ironi menjadi varian retorika bencana untuk mengkomunikasikan kesengsaraan bencana banjir. Bagi penulis, rutinitas narasi semacam ini bertahun tahun dipelihara akan menjadi sebuah “doxa” ketidakberdayaan korban banjir dan kegagalan mitigasi bencana.
Bosan rasanya jika kita disuguhkan drama drama semacam ini sepanjang musim banjir. Namun, pada Kamis 06 Maret 2025 kemarin, terjadi sebuah peristiwa yang berbeda. Menurut penulis ini merupakan sebuah titik awal bagi masyarakat korban bencana untuk menggugat sebuah keadilan sosial. Ketika gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bersama dengan menteri Lingkungan Hidup dan jajaran pemerintah melakukan tindakan penyegelan empat tempat wisata yang diduga menjadi biang kerok derita ribuan warga yang menangis tidak bisa tidur lantaran rumahnya penuh lumpur.
Ultimatum penyegelan ini bahkan memancing emosi warga yang geram dengan mengambil alih paksa pembongkaran ini. Warga yang berani bertindak semacam ini karena dipicu seruan sang Gubernur Jawa Barat untuk merubuhkan bangunan yang dinilai melanggar tata ruang wilayah. Bahkan satpol pp yang biasanya berperan sebagai “ menghalang-halangi” kini bahkan berperan sebagai penengah dan tidak memberikan perlawanan kepada warga yang marah. Gubernur Jawa Barat bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Bidang Pangan melakukan inspeksi mendadak di kawasan wisata Puncak Bogor dan menyegel empat tempat wisata. Disamping itu tindakan Gubernur Jawa Barat juga direkam media mulai dari aksi bersih bersih kali, menemukan sampah kutang nenek, mendoakan prilaku orang orang yang membuang sampah di sungai sampai menyindir prilaku istri walikota Bekasi yang mengungsi ke hotel alih alih sebagai tindakan yang “menyakiti” rakyat yang sedang sengsara.
Bagi penulis langkah ini merupakan sebuah simbol perlawanan sosial yang menggugat nilai keadilan ekologis yang dilakukan bersamaan dengan political will gubernur yang belum pernah terjadi. Sebelumnya perlawanan warga terhadap keadilan ekologi hanya dilakukan parsial melalui gerakan advokasi dan gugatan pengadilan. Misalnya clash action yang pernah dilakukan warga Jakarta menggugat Gubernur Anies Baswedan terhadap banjir Jakarta 2020 silam dan dikabulkan oleh melalui putusan perkara perkara nomor 205/G/TF/2021/PTUN.JKT dan tergugat harus membayar kerugian material kepada korban banjir yang menggugat sebesar hampir 2 milyar rupiah.
Artinya, gerakan perlawanan terhadap keadilan lingkungan sudah bergeser dari melawan pemerintah menjadi bersama pemerintah terhadap segala bentuk kapitalisme dan ekstraksi lingkungan. Ini merupakan sebuah pertanda awal yang baik untuk menyudahi segala drama dan doxa berlarut larut bahwa masyarakat itu tidak berdaya menghadapi banjir. Sekali lagi, banjir merupakan takdir Tuhan yang harus diterima sebagai nasib malang yang menimpa orang orang yang tak beruntung secara ekonomi.
Ada dua hal yang dapat diambil pelajaran dari momentum banjir 2025 ini. Pertama penulis setuju bahwa cara membongkar doxa berkepanjangan dan mendorong pergeseran titik kritis membongkar ketidakadilan ekologis adalah melalui menyalakan terus komunikasi kontra hegemonik.
Pemberitaan bencana tidak lagi sekedar menjual drama agoni kisah korban banjir yang nelangsa tapi juga sebagai ruang narasi baru untuk sebuah pertarungan gugatan akar struktural ketidakadilan ekologis. Sepertinya gerakan membangun ruang narasi kritis juga sudah dilakukan oleh beberapa jurnalis media dalam ruang narasi spesifik. Gerakan citizen journalism dan environmental journalism sudah menunjukkan geliat dengan melihat berbagai media siber yang meliput khusus dan menggugat ketidakadilan lingkungan dalam tulisan artikel seperti Mongabay, Klik Hijau, Greeners, Hijauku dan sebagainya.
Konsep kedua adalah membongkar doxa yang lama mengekang dengan pemikiran Jacques Rancière tentang redistribusi pengetahuan atau dissensus. Rancière menyatakan bahwa pendidikan tentang berpikir adalah sebagai kunci emansipasi berpikir masyarakat. Masyarakat diberikann kesamaan kecerdaasn dengan berpikir untuk berpikir sebagai bagian dari politik kecerdasan.
Ini dapat menjadi dasar argumentasi bahwa selama ini masyarakat juga memiliki kapasitas kesamaan intelektual dalam membaca bencana mulai dari seruan potensi bencana banjir dari BMKG hingga kapasitas memahami risiko bencana itu. Kondisi ini dapat terjadi sebagai manifestasi dissensus dengan catatan akses dan interpretasi pengetahuan itu dibuka. Alih-alih menarasikan modifikasi cuaca dan pembangunan waduk, pengerukan got dan infrastruktur lain sebagai pertarungan teknologi, masyarakat dapat memulai menggugat dengan perlawanan berpikir kritis terhadap realisme dan akar permasalahan banjir tersebut.
Tindakan tindakan yang merupakan simbol perlawanan terhadap praktik kapitalisme lingkungan ini mendadak menyadarkan saya kembali bahwa tidak cukup doxa yang dikatakan Pierre Bordieu bahwa inilah “kebenaran” tentang realita bencana banjir. Ada sejumlah akar masalah yang harus dibongkar setidaknya adalah mendistribusikan kembali pengetahuan tentang bencana banjir itu melalui gerakan literasi dan edukasi bencana di berbagai ruang.
Perombakan besar besaran juga tidak lagi berada pada tataran fisik melainkan juga perombakan infrastruktur dalam tatanan ideologis. Gerakan yang dibuat oleh Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi bersama dengan dua menteri yakni menteri bidang Pangan dan Menteri Lingkungan Hidup patut diacungi jempol. Ini yang kemudian selaras dengan pemikiran Bruno Latour tentang Actor Network bahwa pertarungan wacana tentang teknologi pada tataran pemerintah juga harus bisa diakses oleh masyarakat sebagai pemberdayaan pengetahuan dan komunikasi kebencanaan yang ideal.
Setidaknya sebelum mengakhiri gagasan redistribusi pengetahuan dan restrukturisasi infrastruktur ideologis yang berkecamuk dalam benak saya, terngiang senandung Iwan Fals tentang “Berkaca dalam Genangan Hujan”. Senandung yang mengajak kita untuk terus refleksi tentang bencana banjir, meski terlihat sederhana dan drama membosankan tapi ada secuil harapan disana untuk sekedar bisa berbaring dengan nyenyak dalam mimpi indah di tengah bau banjir.
Sampai di mana aku tak tahu
Yang aku tahu terus melangkah menerjang bosan
Banyak cerita yang telah kita temui
Pasti berarti walau kadang tak peduli
Berkaca pada genangan hujan
Semerbak harum bunga-bunga liar
Senda gurau binatang malam
Mengantarku ke pembaringan
Bila dingin mengganggu kuhampiri kamu
Bila rindu bertalu aku di sampingmu
Kuselimuti dengan semangatku
Lalu kukisahkan mimpi yang sederhana
Telah kuminta kau untuk menemani
Perjalanan ini sudah terjadi
Jangan berpikir kapan akan berakhir
Aku bergelora kurasa kaupun bahagia
*Penulis adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo. Alamat email : nevrettia.christantyawati@unitomo.ac.id