Jakarta, LENSANUSANTARA.CO.ID – Indonesia Book Fair (IBF) 2025 24-28 September resmi digelar di Jakarta Convention Center (JCC) dengan melibatkan puluhan penerbit, penulis, dan komunitas literasi dari dalam maupun luar negeri. Tahun ini, lebih dari 16 negara berpartisipasi, dan 222 penerbit baik dalam dan luar Negri dipadati sekitar 200 ribu pengunjung menjadikan IBF bukan sekadar pameran buku, tetapi juga ruang pertemuan budaya dan diplomasi literasi.
Salah satu penulis yang hadir, Ratih Kumala, menekankan arti penting book fair bagi Indonesia. Menurutnya, keberadaan ajang internasional ini menjadi sarana strategis untuk memperkenalkan karya sastra dan budaya bangsa ke dunia.
“Book fair itu bukan hanya jual beli buku. Di sini ada penerbit, agen buku, sampai penulis yang bisa melakukan pertukaran hak cipta. Kalau karya kita diterjemahkan ke bahasa asing, itu sama saja membawa nama Indonesia,” ujarnya.
Tantangan Literasi di Era Digital
Di tengah maraknya era digital dan kecerdasan buatan (AI), Ratih menilai bahwa tantangan literasi masyarakat Indonesia semakin kompleks. Namun, ia menegaskan bahwa AI tidak bisa dijadikan musuh.
“Kita harus paham dulu, baru bisa memanfaatkannya. Tantangan sebenarnya ada pada akses. Di daerah terpencil, harga buku sangat mahal. Buku bagi mereka jadi barang mewah,” jelasnya.
Ratih menyoroti program ongkir gratis buku yang sempat diluncurkan pemerintah dan kini dihentikan. Ia berharap kebijakan itu bisa dihidupkan kembali karena sangat membantu pemerataan akses literasi di daerah.
“Minimal program itu jalan lagi. Bukan soal murah-meriahnya, tapi dampaknya besar untuk masyarakat yang cinta buku,” katanya.
PR Berat: Pembajakan Buku
Selain akses buku yang terbatas, Ratih juga menyoroti persoalan serius lain: maraknya pembajakan buku. Baik versi cetak maupun digital, praktik ini dinilai merugikan penulis dan penerbit.
“Banyak yang beli buku digital bajakan seharga Rp3.000 dan bisa dapat banyak judul. Padahal itu hasil pemikiran penulis bertahun-tahun. Pemerintah sempat tanda tangan MoU untuk memberantas pembajakan, tapi sampai sekarang masih sebatas seremonial,” ungkapnya.
Perkenalkan Novel Baru Koloni
Dalam kesempatan yang sama, Ratih juga memperkenalkan novel terbarunya berjudul “Koloni”. Buku ini menggunakan dunia semut sebagai alegori untuk menggambarkan kehidupan sosial-politik Indonesia.
“Aku ingin menulis cerita yang tidak menggurui, tapi tetap bisa mencerminkan problematika masyarakat kita. Karena itu aku pilih karakter semut sebagai simbol,” jelasnya.
IBF Jadi Panggung Internasional
Pameran buku internasional seperti IBF dinilai bukan hanya wadah mempertemukan penulis dan pembaca, tetapi juga instrumen diplomasi budaya. Melalui karya sastra, Indonesia bisa memperluas jangkauan pengaruhnya di mata dunia.
(Susanto)