Daerah

Dibawah Terik dan Menahan Lapar, Kisah Pemecah Batu Tua dari Ujung Natuna

1132
×

Dibawah Terik dan Menahan Lapar, Kisah Pemecah Batu Tua dari Ujung Natuna

Sebarkan artikel ini
Daeng Taurat seorang lelaki tua di Kelurahan Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Natuna, tampak memecah batu dengan palu tua. Rabu, (15/10/2025) Foto: Herman/Lensanusantara.co.id

Natuna, LENSANUSANTARA.CO.ID — Di tepi perairan Kelurahan Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Natuna, terlihat sosok lelaki tua sedang membungkuk di bawah terik matahari. Dengan palu tua di tangan dan kaki terbenam di lumpur, Daeng Taurat, 63 tahun, menggali batu-batu dari dasar tanah basah, satu per satu, demi mengisi perut yang jarang kenyang.

Sudah lama, pekerjaan berat itu menjadi satu-satunya jalan hidupnya. Setiap hari, ia menantang lumpur dan panas, menggali bongkahan batu dari tanah berlumpur. Setelah terkumpul, batu-batu itu ia angkat ke daratan dan dipecahkan satu per satu menggunakan palu yang gagangnya sudah retak. Suara ketukan palu berpadu dengan desah napasnya yang berat, menjadi irama perjuangan di sudut Sedanau yang sepi.

Example 300x600

Namun kini, di usia senja, hasil jerih payahnya tak selalu sebanding dengan tenaga yang terkuras. Batu-batu hasil galiannya tidak setiap hari laku terjual. Ia hanya bisa berharap ada proyek bangunan di Sedanau yang sedang berjalan, barulah batu-batu itu dibeli.

“Kalau ada proyek, baru orang datang beli. Tapi kalau tidak, ya batu-batu ini cuma numpuk,” ujarnya menatap tumpukan batu yang mulai menggunung di tempatnya bekerja.

BACA JUGA :
Fourway Taklukkan Final, Bawa Pulang Cerita, Bukan Cuma Piala

Meski penghasilannya tak menentu, tanggung jawab sebagai kepala keluarga tetap ia pikul dengan teguh. Daeng Taurat menafkahi istri dan tiga orang anaknya dari hasil memecah batu itu. Istrinya, perempuan yang setia menemaninya, masih setia membantu — mengangkat batu kecil, mengumpulkan, atau sekadar menyiapkan air untuknya di bawah panas terik.

“Dia selalu temani saya. Kadang bantu pecah batu juga, walau tangan sudah tak kuat,” ucap Daeng Taurat lirih, menyebut istrinya yang tetap setia di tengah kesederhanaan hidup.

Namun perjuangan mereka tak selalu berbuah manis. Sering kali, Daeng Taurat pulang dengan tangan hampa. Tidak jarang ia harus tidur dalam keadaan lapar, menahan perih di perut yang kosong.
“Kalau tak ada yang kasih makanan, ya tidur saja. Kadang dua hari tak makan. Tapi besok tetap turun ke lumpur lagi,” katanya pelan, menunduk pada tanah basah di bawah kakinya.

Ia mengaku, sekalipun dirinya sering menahan lapar, yang terpenting bagi Daeng Taurat adalah keluarganya bisa tetap makan.
“Biar saya tidak makan, yang penting anak-anak dan istri saya bisa makan. Saya sudah biasa lapar, yang penting mereka jangan lapar,” ucapnya dengan suara bergetar.

BACA JUGA :
Masyarakat Sedanau Desak Pemda Natuna Adakan Alat Pemadam Kebakaran

Ia memang menerima bantuan dari pemerintah, namun datangnya tak menentu.
“Ada juga bantuan, tapi itu pun beberapa bulan baru sampai. Sementara kita makan tiap hari,” keluhnya.

Kepada Lensanusantara.co.id, Daeng Taurat menceritakan kisah hidupnya dengan suara yang pelan namun penuh kejujuran. Ia tidak banyak menuntut, hanya berharap ada perhatian nyata dari pemerintah agar dirinya bisa tetap bekerja dengan layak.

“Kalau boleh saya meminta, saya tak minta uang. Saya cuma ingin dikasi fasilitas untuk kerja. Misalnya pompong kecil untuk cari ikan, atau alat lainnya. Biar saya bisa kerja dan dapat penghasilan tiap hari,” tuturnya, Rabu 15 Oktober 2025.

Ia menambahkan, bantuan seperti itu lebih berarti daripada sekadar sembako atau uang yang habis dalam beberapa hari.
“Kalau ada alat kerja, saya bisa usaha sendiri. Tak perlu lagi berharap kasihan orang. Bisa makan dari hasil tangan sendiri, itu lebih saya syukuri,” ujarnya mantap.

BACA JUGA :
Forkopimcam Bungbar Natuna Pantau Arus Mudik

Setiap pagi, lelaki tua itu tetap datang ke tempat yang sama — menggali, mengangkat, dan memecahkan batu, menantang kerasnya lumpur dan nasib yang tak selalu bersahabat.

Kisah Daeng Taurat menjadi potret getir kehidupan di kepulauan Natuna — tentang ketabahan seorang tua di Sedanau yang berjuang di antara lumpur, batu, dan lapar. Sebuah kisah tentang kesetiaan dan keteguhan keluarga sederhana yang menolak menyerah, serta sebuah panggilan hati agar pemerintah lebih mendengar jerit sunyi mereka yang hidup di bawah garis sejahtera.

Di bawah langit yang mulai redup, Daeng Taurat masih terduduk, menatap batu-batu hasil kerjanya yang belum tentu laku dijual. Sinar senja memantul di peluh yang menetes di wajahnya, seolah menyimpan kisah panjang tentang perjuangan hidup yang tak pernah padam.
Ia mungkin hanya seorang pemecah batu tua di Sedanau, tapi di balik tangannya yang kasar dan kulitnya yang legam terbakar matahari, tersimpan makna besar tentang keteguhan, kesederhanaan, dan martabat manusia yang tak mau menyerah pada nasib.