Bondowoso, LENSANUSANTARA.CO.ID – Konsep pembelajaran lintas batas semakin sering dibicarakan dalam dunia pendidikan, terutama setelah diterapkannya Pembelajaran Mendalam (PM). Namun, banyak guru masih rancu dalam membedakan istilah interkoneksi materi, pembelajaran kolaboratif, dan projek kokurikuler.
Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami Bondowoso sekaligus Fasilitator Pembelajaran Mendalam dan Praktisi Mengajar UM, menjelaskan ketiga konsep tersebut dalam sebuah wawancara yang digelar Lensa Nusantara, Jumat (12/9/2025).
Menurutnya, ketiganya memiliki perbedaan mendasar meski sama-sama bertujuan menghadirkan pembelajaran yang lebih bermakna bagi siswa.
“Selama ini guru sering kali menganggap pembelajaran kolaboratif itu hanya sebatas team teaching atau mengajar bersama. Padahal, sejatinya pembelajaran kolaboratif adalah integrasi ide dan perspektif antar guru sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan,” jelas Hairul di sela mengisi Pelatihan Pembelajaran Mendalam di SMPK Indra Prastha Bondowoso.
Interkoneksi materi, kata Hairul, merupakan upaya menghubungkan konsep dari berbagai mata pelajaran agar saling melengkapi dan memperkaya pemahaman siswa. Dalam praktiknya, guru tidak sekadar menyisipkan materi, tetapi benar-benar mengaitkan pengetahuan lintas bidang.
Berbeda dengan interkoneksi materi, pembelajaran kolaboratif menekankan pada proses kerja sama antar guru sejak awal. Mulai dari merancang, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembelajaran dilakukan bersama secara integratif.
“Bukan sekadar berbagi jadwal atau tugas, tetapi proses kreatif bersama yang menghasilkan pengalaman belajar nyata bagi siswa,” ujar pria yang juga merupakan Ketua LTN (Lembaga Taklif wan Nasyr) PCNU Bondowoso.
Sementara projek kokurikuler merupakan bagian dari Pembelajaran Mendalam yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi dan karakter siswa di luar pembelajaran intrakurikuler. Projek ini lebih fleksibel dan kontekstual karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan sekolah maupun lingkungan sekitar.
“Projek kokurikuler memberi ruang bagi siswa untuk belajar melalui pengalaman langsung. Ini bukan pengganti pelajaran di kelas, tapi pelengkap yang memperkuat pembelajaran,” tambahnya.
Menurut Hairul, kunci utama keberhasilan pembelajaran lintas batas adalah keberanian guru keluar dari zona nyaman dan meninggalkan ego mata pelajaran masing-masing. Kolaborasi yang tulus dan terbuka menjadi syarat mutlak.
“Tanpa keberanian dan keterbukaan, kolaborasi hanya akan menjadi formalitas yang hambar. Guru harus mulai dari langkah kecil, misalnya satu projek kolaboratif per semester,” sarannya.
Pembelajaran lintas batas memberi banyak manfaat, baik bagi guru maupun siswa. Bagi siswa, pembelajaran menjadi lebih kontekstual, melatih berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kerja sama. Sedangkan bagi guru, kolaborasi menumbuhkan sikap saling percaya dan memperkaya strategi mengajar.
Hairul menegaskan, interkoneksi materi, pembelajaran kolaboratif, dan projek kokurikuler bukanlah istilah yang saling tumpang tindih, tetapi tiga pilar yang saling menguatkan.
“Jika ketiga konsep ini dipahami dengan tepat dan diterapkan secara konsisten, pembelajaran mendalam bukan lagi sekadar wacana, tetapi akan benar-benar dirasakan siswa dan guru,” pungkasnya.