BeritaUncategorized

Merawat Tradisi dan Kearifan Lokal, Penulis Bondowoso Terbitkan Buku “Yang Tak Kuizinkan Hilang”

×

Merawat Tradisi dan Kearifan Lokal, Penulis Bondowoso Terbitkan Buku “Yang Tak Kuizinkan Hilang”

Sebarkan artikel ini

Bondowoso, LENSANUSANTARA.CO.ID – Sekitar tiga puluh penulis yang tergabung dalam komunitas FAMBO (Forum Aktif Menulis Bondowoso) menerbitkan buku berjudul “Yang Tak Kuizinkan Hilang”, Sejarah, Tradisi, Budaya, dan Agama di Bondowoso.

Example 300x600

Acara launching sekaligus Bedah Proses kreatif dan Bedah Isi Buku dilaksanakan pada Jumat, 18 Desember 2020 di Library Café Bondowoso.


Acara diikuti puluhan peserta mulai pukul 19.00 hingga 22.00 WIB. Penerbit Licensi juga melakukan live streaming kegiatan ini melalui facebook. Bertindak selaku pemantik diskusi adalah Mohammad Hairul, salah satu penulis dalam buku ini yang juga Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis di Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemdikbud. Acara dibuka dengan pembacaan puisi yang dibawakan oleh MHTR, salah satu penyair muda Bondowoso yang aktif di Komunitas Aungansastra, Padepokan Kalijogo Bondowoso.


Selanjutnya diisi dengan pemaparan proses kreatif dan pemaparan tradisi yang ditulis oleh para pembicara. Para penulis yang juga bertindak sebagai pembicara adalah Abdul Wasik (Dosen STAI Attaqwa Bondowoso), Fijriah Dharmayanti (Kepala Sekolah SMK Taruna Husada Bondowoso), Vera Sukartiningsih (Guru SMP Islam As-Syuhada’ 45 Bondowoso), Abduh (Aktivis Pergerakan), dan M. Ghofur Hasbulloh (Pengusaha Muda Bondowoso).


“Buku ini mengupas beberapa topik. Diantaranya Tradisi Nase’ Polo’, Arokat Pekarangan, Ojhung, Adhudul, Bi’ibih, Abhekalan, Arakan manten Jharan Kenca’. Bahkan juga hal-hal yang berbau mistis seperti Mitos Ghudung Pencuri Jenazah, dan aneka jenis mantra yang masih lestari di Bondowoso. Termasuk juga topik budaya kesenian seperti Singo Ulung, Tari Topeng Konah, Ludruk, Musik Tempong, dan lain-lain, ungkap Hairul.


Para pembicara juga menyampaikan harapan agar segala kearifan lokal tersebut terus dilestarikan. Termasuk agar Pemerintah Daerah punya kepedulian dan kepekaan untuk menjadikannya sebagai hak paten dan ciri khas masyarakat Bondowoso.

“Disparpora, Dinas Dikbud, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan adalah instansi terkait yang butuh juga mengambil peran untuk upaya melegalkan dan menghak-patenkan tradisi dan budaya khas Bondowoso ini”, jelas Abduh.


“Ada beberapa tradisi yang butuh sentuhan pelurusan agar tetap sesuai dengan tradisi asalnya. Seperti tradisi abhekalan yang mulai kurang sesuai dengan maksud mulia yang diselipkan di dalamnya” ungkap Abdul Wasik.

“Mitos Pencurian Jenazah juga butuh sentuhan dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Agar tradisi menjaga makam dapat diarahkan untuk aktivitas yang lebih berguna daripada sekadar main domino” imbuh Ghofur.


“Pada tradisi nase’ polo’ ada banyak nilai filosofis yang terselip dalam ritualnya. Seperti halnya mengapa butuh ada ikan laut selain sesajen lainnya. Itu karena ada pesan tersirat agar anak gadis yang menstruasi pertama kalinya bisa meniru karakter ikan laut yang walaupun hidup di air laut yang asin namun tidak otomatis ikut asin”, ungkap Vera.

Fijriah juga menambahkan, “Mengapa selalu ada jajanan manten berupa Dodol dan Tettel yang direkatkan dalam pernikahan. Itu karena menyirat pesan agar kedua mempelai walaupun pasti punya banyak perbedaan, namun harus tetap selalu lengket satu sama lain”, pungkas Fijriah.


Direktur Penerbit Licensi yang ditemui seusai acara, menyampaiakn perasaan bahagia dan bangga atas terbitnya buku “Yang Tak Kuizinkan Hilang”. Menurutnya buku ini sungguh luar biasa. “Buku ini buku yang mestinya dimiliki oleh semua masyarakat Bondowoso. Agar mereka semakin mengenali kepribadian dan kearifan lokal daerahnya”, ujar Taufik Hidayat.

  • Reporter : Ubay
  • Editor : Arik Kurniawan
  • Publikasi : Yadi/Rahman
**) IIkuti berita terbaru Lensa Nusantara di Google News klik disini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan