
Jakarta, LENSANUSANTARA.CO.ID – DKPP mencopot Arief Budiman sebagai ketua KPU pusat. Arief di duga melanggar kode etik. Keputusan tersebut disampaikan dalam sidang etik putusan perkara dengan nomor 123-PKE-DKPP/X/2020. Arief juga mendapat sanksi peringatan keras.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku ketua KPU RI,” tulis putusan DKPP tersebut. di kutip dari (med.com. edisi Rabu 13 Januari 2021. Theofilus Ifan Sucipto).
Sementara itu, anggota DPR RI Komisi II yakni Zulfikar Arse Sadikin S.IP.MS.i mengatakan, DKPP memang berwenang memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik, dan memutus pelanggaran kode etik. sesuai UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, pasal 159 ayat 2 huruf (c) dan (d). hal itu di katakan Zulfikar usai di mintai tanggapannya oleh lensannusantara.co.id Via pesan Whatsapp Sabtu 16/1/21.
Politisi Golkar Dapil III Jatim ini menambahkan, kewenangan DKPP tersebut harus dijalankan berbarengan dengan kewajibannya sebagaimana termaktub pada pasal 159 ayat 3 huruf (a)dan (c), yaitu menegakkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi serta bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribadi.
“Menilik dari konteks kasus yang ditangani dan diputus, saya menengarai, DKPP tidak sepenuh hati dalam melaksanakan kewajiban yang telah diamanatkan UU nomor 7 Tahun 2017.” ungkap Zulfikar.
Lebih lanjut Zulfikar menjelaskan, hal ini terkait dengan kasus Evi Novida Ginting Manik, yang tidak pernah diakui oleh DKPP menjadi Komisioner KPU “kembali”. Padahal sudah ada SK Presiden yang memulihkan status bersangkutan atas putusan Pengadilan yang telah inkracht, maka apa yang diputuskan DKPP lebih untuk memuaskan hasrat subyektif DKPP, atas putusan DKPP terhadap Evi Novida G.M.
“Kalau ini yang terjadi maka saya bisa mengatakan, dalam hal ini DKPP tidak memahami esensi putusan MK nomor 13/puu-xi/2013, yang menegaskan putusan DKPP tidak final dan mengikat, dalam arti bisa di challenge di pengadilan” Kata bang Zul sapaan akrab politisi Golkar ini.
Ia menambahkn, dalam UUD tahun 1945 pasal 24 ayat 3 menyatakan, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur oleh undang-undang. artinya melalui undang-undang, diluar lembaga peradilan bisa menjalankan kekuasaan kehakiman.
Kendati demikian, di pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menegaskan, bahwa ujung dan muara dari kekuasaan kehakiman adalah lembaga peradilan.
Zulfikar berpandangan, bahwa putusan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman selalu bisa dan dapat dibawa ke lembaga peradilan, karena sesungguhnya pelaksana dan pemegang kekuasaan kehakiman adalah lembaga peradilan.
Menurut Zulfikar, pandangan konstitusional itulah yang menjadi dasar pertimbangan hakim MK dalam menghadirkan putusan nomor 13/puu-xi/2013 dan itulah mengapa dalam UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu tidak ada norma yang menyatakan putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Untuk menyikapi DKPP terkait pencopotan Arief sebagai ketua KPU RI, Zulfikar Arse Sadikin akan mengusulkan kepada komisi II DPR RI untuk menggunakan aturan dalam UU nomor 7 Tahun 2017, pasal 156 ayat 4 ,yang menyatakan setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu.
“Sungguh memprihatinkan bila ada badan yang oleh undang-undang diberi fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, namun dijalankan atas hasrat subyektif dan nir pemahaman yang komprehensif dan integreted” tutupnya. (Ubay)