Bondowoso, LENSANUSANTARA.CO.ID –Berawal dari fatwa resolusi jihad yang di keluarkan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim As’yari, yang kemudian dibarengi aksi heroik, arek-arek suroboyo bersama para laskar hizbullah dan laskar sabillillah melawan penjajah Belanda, tanggal 10 Nopember 1945, dimana para laskar ini adalah barisan para santri, pemuda islam yang di pimpin oleh kiai-kiai muda seperti KH. Zainul Arifin, KH. Mas Mansyur, KH. Mansyur, KH. Muhtar dll.
Para santri yang dulunya hanya belajar tentang kitab di ikutsertakan dalam latihan militer, semula laskar ini hanya berjumlah 500 orang, seiring waktu pengaruh laskar hizbullah menggema seantero Nusantara dan menjadi kekuatan baru bagi umat muslim, diperkirakan ada sekitar 50.000 orang yang bergabung dalam laskar ini.
Dalam aksinya pertempuaran di surabaya laskar hizbullah berhasil hingga mewaskan seorang Jendral perang sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) AWS. Mallaby.
Dimana dikemudian hari oleh pemerintah tanggal 10 Nopember di abadikan sebagai hari pahlawan nasional, sementara rekam jejak perjuangan para santri yang tergabung dalam laskar tenggelam tanpa jejak.
Beruntung, Fatwa Resolusi Jihad yang di gagas oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim As’yari dimuat di beberapa media cetak zaman itu dan tersimpan rapi, sehingga sejarah perjuangan kaum sarungan terkuak, yang kemudian oleh para pakar sejarah di kaji dan di teliti dan pada akhirnya oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 15 Oktober 2015, bertempat di Masjid Istiglal memutuskan Tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, sebagai wujud pengakuan Pemerintah terhadap perjuangan kaum santri dalam upaya melepaskan belenggu penjajahan di bumi pertiwi.
Peran santri milenial
Kontribusi santri terhadap berdirinya negara ini tak perlu diragukan lagi, bagi penulis santri adalah salah bagian pemegang saham atas berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan jauh sebelum Negara ini berdiri para kyai melalui pesantrennya sudah menjadi pelopor pendidikan, menyebarkan dan mengamalkan ilmu-ilmu agama di negeri ini hingga di pelosok-pelosok nusantara.
Kini diera globalisasi ini para santri, terutama kalangan santri milenial memiki kewajiban untuk menjaganya. Santri milenial merupakan santri yang hidup zaman Now, serba praktis, cepat dan serba digital, serta semua terkoneksi dengan teknologi.
Dampak globalisasi, tidak hanya berdampak pada kemajuan teknologi semata, akan tepati mempengaruhi hingga sendi-sendi kehidupan termasuk masuknya mahzab gerakan Islam transnasional kian marak dan mengkhawatirkan, munculnya gerakan Islam transnasional menarik dan penting untuk dikaji, karena fenomena atau gerakan ini sangat mempengaruhi citra Islam kotemporer di mata dunia.
Tentu gerakan ini bersifat ekspansif dan aktif, menyebarkan pemikiran mereka tentang Islam, termasuk ke Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, negara kita menjadi lahan subur bagi berkembangnya gerakan Islam transnasional.
Kondisi ini bisa saja membuat basis Islam moderat yang sudah berkembang lama di negeri ini terancam posisinya, terlebih banyak orang hari ini yang suka dengan gerakan hijrah dengan skill marketing yang hebat, rasa “haus” tentang ilmu keagamaan ditambah banyaknya golongan yang muncul di berbagai media, dengan berbagai dalil dan seolah-olah mereka memahami Islam, tapi tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas. Hal ini di khawatirkan akan membawa masyarakat pada ilmu yang radikal dan intoleran.
Hal ini selaras dengan Martin Albrow, seorang ahli sosiologi asal inggris, menyatakan dimana dampak globalisasi ini adalah dimana penduduk dunia akan terhubung dalam sebuah komunitas global dan dunia tunggal. Sehingga perlu peta dakwah sekaligus merancang strategi dakwah dalam rangka filterasi serta mencegah terjadinya friksi dengan gerakan Islam transnasional.
Sementara itu menurut Ahmad Syauqi, S.Hum, M.Si Dosen Agama Universitas Airlangga (UNAIR), dalam menjawab tantangan zaman di era disrupsi, santri milenial harus melek media untuk menularkan ilmunya dan mengajarkan islam yang berkarakteristik moderat, tasamuh (toleran), adil, seimbang antara akal dan nash Al-Qur’an Hadist, dan sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA).
Berbekal dasar ilmu agama dari kiyai yang memiliki sanad keilmuan yang jelas serta memanfaatkan kemajuan revolusi industri santri diharapakan kreatif dan inovatif dalam berdakwah.
Meskipun penulis bukan berasal dari kalangan santri, tapi spirit hari santri harus dijadikan sebagai ajang refleksi agar kontribusi santri terhadap negeri tetap terjaga.
Penulis : Moch. Efril Kasiono
Publisher : Udien