Berita

Tradisi Tujuh Sumber: Simbol Kehidupan dan Kebersamaan Warga Panti Jember

1690
×

Tradisi Tujuh Sumber: Simbol Kehidupan dan Kebersamaan Warga Panti Jember

Sebarkan artikel ini
Tujuh Sumber di Kecamatan Panti Jember, Jum'at (17/10/2025).(Foto: Badri/ Lensa Nusantara)

Jember, LENSANUSANTARA.CO.ID – Di lereng Gunung Hyang Argopuro, tepatnya di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, tujuh mata air alami menjadi lebih dari sekadar sumber kehidupan. Bagi masyarakat setempat, air dari ketujuh sumber ini adalah warisan spiritual yang menyatukan nilai-nilai leluhur, simbolisme alam, dan harmoni sosial, Jum’at (17/10/2025).

Setiap tetes air dari tujuh sumber diyakini membawa berkah, keselamatan, dan keseimbangan hidup. Dalam pandangan masyarakat, air tersebut telah menempuh perjalanan panjang menembus lapisan bumi, menyerap doa-doa, dan berpadu dengan energi alam.

Example 300x600

“Bagi kami, air dari Tujuh Sumber bukan sekadar untuk diminum. Ia mengandung makna spiritual. Ada doa, ada berkah, ada pesan kehidupan di dalamnya,” ujar Irham Fidaruzziar, Ketua Karang Taruna Kecamatan Panti yang menjadi penggerak utama pelestarian tradisi ini.

Irham menjelaskan, Tujuh Sumber melambangkan tujuh sifat dasar manusia: keikhlasan, kesabaran, keteguhan, kasih sayang, kesederhanaan, kejujuran, dan kerendahan hati. Nilai-nilai itu menjadi pedoman moral masyarakat, sebagaimana air yang selalu mengalir rendah, memberi kehidupan tanpa pamrih.

BACA JUGA :
Bupati Jember Dukung Program Presiden RI Wujudkan Indonesia Bebas Pungli dan Korupsi

Tradisi ini mencapai puncaknya dalam prosesi “Tilik Sumber”, yaitu perjalanan spiritual dari satu mata air ke mata air lainnya. Setiap sumber memiliki karakter dan kisah tersendiri, seperti bab-bab kehidupan yang mengajarkan hubungan manusia dengan alam.

Perjalanan dimulai dari Sumber Tunjung di Desa Panti, yang diyakini sebagai awal kehidupan, kemudian dilanjutkan ke Sumber Kembar di Desa Pakis, simbol keseimbangan antara lahir dan batin. Rangkaian berikutnya meliputi Balong Keramat di Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin Desa Kemuningsari Lor, Sumber Waduk di Glagahwero, Sumber Suci di Desa Suci, Sumber Kemiri di Desa Kemiri, dan berakhir di Sumber Suko Desa Serut, yang melambangkan kebahagiaan dan kesempurnaan hidup.

Setiap kunjungan disertai doa bersama, tabur bunga, serta penyerahan sesaji hasil bumi. Semua dilakukan dengan khidmat sebagai wujud syukur kepada alam.

BACA JUGA :
Hadi Sasmito Dilantik Sebagai Sekda Jember

“Kami tidak menganggap sumber air itu keramat dalam arti disembah, tapi kami menghormati karena dari sanalah kehidupan berasal. Air adalah amanah Tuhan,” tambah Irham.

Ritual ini berpuncak pada prosesi “Penyatuan Tujuh Sumber”, di mana air dari ketujuh mata air dikumpulkan dalam satu kendi besar. Air tersebut kemudian diaduk dan sebagian dikembalikan ke masing-masing desa, melambangkan kesatuan dan keseimbangan antarwarga.

“Air yang kita satukan ini lambang kebersamaan. Tidak ada sumber yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semua memberi kehidupan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Kemuningsari Lor menuturkan, keberadaan Balong Keramat menjadi bagian penting dari ritual ini. Balong tersebut terkait dengan Kiai Muhammad Nur, ulama penyebar Islam dan pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin. Setiap tahun, masyarakat menggelar Haul Kiai Muhammad Nur yang diiringi kirab hasil bumi dari kantor desa menuju pondok pesantren, diikuti ribuan peserta dari berbagai daerah.

BACA JUGA :
World Kids Carnival 2025, Kolaborasi Budaya Jepang dan Indonesia

“Kami menjadikan kegiatan ini bukan hanya peringatan keagamaan, tapi juga sarana memperkuat ikatan sosial dan mengenalkan nilai-nilai leluhur kepada generasi muda,” ujarnya.

Selain bernilai spiritual, kegiatan Tujuh Sumber turut memberi dampak ekonomi bagi masyarakat. Selama prosesi berlangsung, jalan-jalan desa dipenuhi pedagang makanan tradisional, perajin, dan pelaku UMKM lokal. Pendapatan mereka meningkat hingga tiga kali lipat dari hari biasa.

“Tradisi Tujuh Sumber membuktikan bahwa budaya dan kearifan lokal dapat berjalan seiring dengan kemajuan zaman. Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Panti tetap menjaga akar budaya mereka menjadikan air bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga simbol persaudaraan dan keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” tungkasnya.