Pasuruan, LENSANUSANTARA.CO.ID – Mbah Surga-Surgi merupakan Adipati Nitiadiningrat pertama di daerah Pasuruan yang dikenal dengan sebutan kanjeng pangeran. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat setempat mengenalnya sebagai seseorang yang saleh, berilmu tinggi, dan hidupnya yang sederhana. masyarakat Pasuruan menaruh rasa hormat yang tinggi kepada Mbah Surga-Surgi. Setelah wafat, beliau dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Alun-Alun Pasuruan.
Pada masa Pemerintahannya, Pasuruan berkembang pesat, terutama dengan majunya industri gula dan aktivitas perdagangan melalui Pelabuhan Gembong.
Tata pemerintahan dan sistem sosial diatur menyerupai tatanan keraton, lengkap dengan masjid, alun-alun, dan pusat pemerintahan yang terintegrasi. Selain catatan sejarah yang kuat, Salah satu kisah yang banyak diceritakan adalah kutukan di desa Bandaran, di mana konon warga desa itu dikutuk menjadi jerangkong (tengkorak hidup) selama tujuh turunan karena kesalahan terhadap sang Adipati.
Setiap tahun, masyarakat menggelar haul pada tanggal 8 November sebagai bentuk penghormatan.
Selain itu, tradisi Purnamaan pada tanggal 15 jawa masih dilestarikan hingga kini. Dalam tradisi Purnamaan banyak yang mengenakan blangkon, karena Mbah Surga-Surgi dikenal gemar memakai blangkon. Atribut tersebut melambangkan warisan budaya jawa serta filosofi “gamblange lakon”, yaitu hidup sesuai jalur dan peran masing-masing.
Selain itu, busana berwarna hitam dikenakan karena dalam budaya Jawa warna hitam dianggap melambangkan keteguhan dan keabadian.
Tradisi purnamaan ini dimulai dengan pembacaan Yasin, tahlil, dan doa bersama, kemudian diakhiri dengan makan bersama sebagai simbol persaudaraan di bawah payung madinah alun-alun pasuruan.
Perlu diketahui folklor merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik bersama.
Jika dilihat dari sudut pandang teori kebudayaan Setiadi, foklor lisan seperti mbah surga surgi ini sebagai bentuk penanaman Nilai Budaya terhadap masyarakat mengenai Hubungannya Manusia dengan Tuhan dan Hubungan Manusia dengan Sesamanya.
Melalui cerita tersebut, masyarakat mendapatkan pemahaman tentang hubungan manusia dengan Tuhan, misalnya melalui ajaran tentang keikhlasan, ketawadukan, dan kesadaran spiritual.
Nilai-nilai ini mendorong setiap individu untuk senantiasa bersikap rendah hati, menerima segala ketentuan Tuhan dengan lapang dada, serta menjaga kedekatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, melalui penyampaian cerita secara lisan, masyarakat juga diajak untuk memahami pentingnya hubungan manusia dengan sesamanya.
Cerita ini menekankan sikap saling menghormati, tolong-menolong, gotong royong, dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai tersebut terlihat dari tindakan dan keteladanan tokoh dalam cerita, yang kemudian ditiru dan dipraktikkan oleh masyarakat. Dengan demikian, folklor semacam ini menjadi sarana untuk membentuk pedoman etika bersama, sehingga masyarakat dapat hidup lebih rukun, saling mendukung, dan menjaga persatuan dalam lingkungan mereka.
Nilai budaya yang tercermin dalam kisah Mbah Surga-Surgi menunjukkan bahwa budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tidak hanya lahir dari kemampuan manusia untuk berpikir dan menciptakan sesuatu, tetapi juga dari perasaan, pengalaman batin, serta kehendak yang mendorong manusia untuk berbuat baik. Seorang manusia yang beretika akan melahirkan budaya yang sarat dengan nilai moral, sehingga budaya tersebut mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri.(*)
Penulis : Sahifah Sa’adah
Narasumber : Juru kunci Dan warga sekitar Makam mbah surga surgi.
Lokasi : Jl. Alun-Alun, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan, Jawa
Timur 67116 ( Belakang masjid jami’)










