Sumenep, LENSANUSANTARA.CO.ID – Masyarakat Gayam terus memperbincangkan mahalnya harga BBM, adanya SPBU Kompak di Kecamatan Gayam – Sapudi dirasakan tidak ada bedanya dengan sebelumnya, penyambutan akan adanya satu harga, ternyata tidak dapat terealisasi, kekecewaan di masyarakat Gayam menimbulkan banyak reaksi, protes-protes yang terus didengunkan dapat dijumpai dari perbincangan-perbincangan keseharian aktifitas masyarakat.
“mending tidak usah ada SPBU, kenapa ada pelarangan pengecer membeli di SPBU Kompak, kenapa juga dibolehkan untuk sebagian orang, bukankah hal seperti ini yang dinamakan ketidak adilan” diskusi kelompok masyarakat di warung kopi.
Kritik yang disampaikan Komunitas Warung Puncak sangat menarik, mereka mengingatkan bahaya Oligarki, konglomerasi. Efek adanya konglomerasi akan menimbulkan Ketimpangan ekonomi dan ketidak adilan sosial, negeri ini bukan hanya milik segelintir orang, semua masyarakat punya hak yang sama, sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah rujukan diskusi dalam membaca adanya harga eceran BBM yang mahal.
FORPIMKA yang memiliki tanggung jawab pengawas, dapat berdiri tegak untuk membela kepentingan masyarakat umum, kerja nyata tanpa kompromi adalah wujud kerja dan tanggung jawab yang betul-betul diharapkan oleh masyarakat Gayam.
Sudah berjalan enam hari SPBU Kompak beroperasi, dinamikanya sungguh memprihatinkan, peran pemilik SPBU Kompak tidak nampak, terkesan sembunyi dibalik dinding, sebaliknya pihak konglomerasi yang mengatur segala sesuatunya, dengan ketentuan harga yang masih mahal.
Pesan suara singkat yang langsung disampaikan oleh Camat Gayam, menuai banyak kritik, dengan adanya kesepakatan FORPIMKA bahwa rakyat masih dihadapkan dengan harga delapan ribu ditempat, padahal pengecer bisa beli langsung ke SPBU, hal ini bisa menjadi solusi harga BBM murah, FORPIMKA masih memberikan peluang dominasi, padahal dengan dibukanya kran SPBU Kompak untuk umum adalah solusi akan turunnya harga eceran, dan juga melimpahkan pendataan jumlah pengecer bukan menciptakan solusi yang baik, malah akan menimbulkan kecemburuan sosial, bukankan pendataan itu adalah tugas FORPIMKA?? Begitu tanda tanya besar dalam dalam diskusi Warung Puncak.
“assalamualaikum warahtullahi wabarakatu, pak yanto eeeh kami FORPIMKA sudah membicarakan semuanya dengan pihak APMS B. Atik di Daratan, Bapak Kapolsek, Bapak Danramil, Bapak Kanit Intel eeeh Bapak Risal kesepakatannya adalah eeeh itu harga delapan ribu katanya mau dianter ke masing-masing pengecer yaa, sedangkan di POM itu tetap harga pertamina, jadi saya minta kepada APMS B. Atik saya minta daftar daripada pengecer-pengecer di kecamatan Gayam, berapa orang gitu nanti saya buatkan rekomendasi, biar jelas gito loo, biar tidak ada penimbunan gito loo, dan mudah untuk memonitor yaa eee memonitor dan mengevaluasi para pengecer orang-orangnya, dan saya pastikan tidak ada lagi penimbunan-penimbunan yang dapat menimbulkan kenaikan harga BBM di Kec. Gayam, tolong dibantu yaa bapak Yanto yaaa, oke terima kasih wassalamualaikum warahmatullah wabarakatu”. Camat Gayam. Ags.