Kotawaringin Barat, LENSANUSANTARA.CO.ID – Persidangan kasus sengketa tanah di Jalan Rambutan, Kelurahan Baru, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah kembali berlanjut di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kamis (26/6/2025).
Dalam sidang yang beragendakan pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi ini, pihak penggugat menghadirkan empat saksi yang memperkuat klaim kepemilikan lahan atas nama almarhum Brata Ruswanda.
Kuasa hukum pihak penggugat, Poltak Silitonga, menjelaskan bahwa lahan yang kini menjadi kantor Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kobar awalnya berasal dari keluarga kerajaan.
“Kami menghadirkan juru bicara Kesultanan Kutaringin sebagai saksi pertama. Beliau menjelaskan bahwa tanah ini awalnya berasal dari keluarga kerajaan,” ujar Poltak.
Saksi kedua yang dihadirkan adalah mantan staf Kelurahan Baru yang menjabat sejak tahun 1981 hingga 2012. Saksi ini memberikan keterangan bahwa seluruh proses administrasi terkait surat tanah atas nama Brata Ruswanda dilakukan secara sah dan diketahui oleh pihak kelurahan.
Dua saksi lainnya merupakan warga yang membeli lahan dari Brata Ruswanda berdasarkan Surat Keterangan Adat (SKA) tahun 1974.
“Mereka membeli tanah secara resmi dan hingga kini tidak pernah mendapat gugatan ataupun komplain dari Pemkab Kobar maupun Gubernur Kalteng,” tegas Poltak.
Poltak juga mempersoalkan keabsahan Surat Keputusan (SK) Gubernur yang digunakan sebagai dasar klaim oleh pihak pemerintah.
“SK yang ditunjukkan hanya berupa fotokopi dan tidak sesuai prosedur hukum karena tidak menyebut nama pemilik secara spesifik. SK itu kami anggap tidak sah dan diduga karangan semata,” katanya.
Ia juga menyoroti kejanggalan dalam penerbitan SK Gubernur tersebut. “Surat permohonan dibuat pada 1 April 1974, tapi SK sudah keluar 6 April 1974. Padahal, menurut keterangan saksi, perjalanan dari Pangkalan Bun ke Palangka Raya pada masa itu bisa memakan waktu hingga tiga minggu,” jelasnya.
Lebih lanjut, pihak penggugat juga menyampaikan bahwa lahan seluas 10 hektare yang diklaim Pemkab telah dikapling dan dijual kepada masyarakat oleh ahli waris Brata Ruswanda.
Penerbitan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun disebut telah melalui prosedur resmi, termasuk pengukuran dan pengumuman.
“Kalau memang tanah itu milik Bupati, mengapa dari dulu tidak ada keberatan saat kelurahan menandatangani dokumen-dokumen sertifikat tersebut? Ini yang kami anggap sebagai upaya penguasaan secara sepihak dan tidak adil oleh pihak pemerintah,” tambah Poltak.
Menurutnya, kasus ini menjadi penting sebagai bentuk perjuangan keadilan terhadap masyarakat yang tidak memiliki kekuatan hukum menghadapi aparat negara.
“Kami hadir untuk meluruskan dan mencegah terjadinya penindasan terhadap hak-hak rakyat kecil,” tutupnya.
Sidang lanjutan dijadwalkan Tanggal 10 Juli 2025 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi tambahan dari penggugat.(Firman Muliadi).