Bogor, LENSANUSANTARA.CO.ID – Buku Bayang Firdaus, kumpulan puisi bilingual karya Halimah Munawir, pada pekan literasi dilaunching secara virtual oleh penerbit Diomedia.
Karya-karya Halimah berupa puisi, cerpen, novel, adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua lahir dari sebuah imajinasi atas pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan. Yang membedakan adalah hiasan dan untaian kata serta panjang pendeknya kalimat murni dari sebuah kemerdekaan jiwa penulisnya. Namun genre baru pada dunia sastra yakni puisi esai yang di lahirkan oleh sahabatnya Denny JA, disanalah ada sedikit perbedaan, puisi esai sedikit berbau ilmiah.
“Disana ada catatan kaki sebagaimana yang terdapat pada buku-buku ilmiah dan mengajak pembacanya untuk lebih kreatif dalam mendalaminya dengan dapat membuka link pada catatan kaki. Adanya pro dan kontra, itu sah sah saja. Saya melihat dari sisi positifnya, pembeharuan yang mencerahkan dunia sastra,” terang Halimah.
Lebih jauh sastrawan ini menjelaskan, imajinasi tinggi dari seorang intelektual yang memiliki segudang pengalaman, perlu kita hargai. Ibarat buah yang jatuh, dia tidak jauh dari pohonnya. Begitupun dengan puisi esai yang di lahirkan Deny JA, mencirikan sang pelahir.
Awal mula Halimah Munawir menulis puisi, sewaktu berseragam putih abu abu, di atas buku diary. Jika di untai dalam kata puisi seperti ini:
Hiruk pikuk, heroik dunia pada putaran waktu
Mengajakku bercengkerama dengan kata yang mengisi ruang kepala.
Jelang redup mata oleh panggilan malam
Dan tubuh letih rebah di pulau kapuk
tangan menari di atas diary
Saat hembusan angin pagi berbisik,
Mata terbuka
Kubuka diary, tumpah ruah imajinasi
Penapun menjahit dan merangkai kata
Denting melodi cinta , terdengar sangat jelas dari bait demi bait.
Kira-kira seperti itu Halimah Munawir memulai meraba, mencium dan bercengkerama dengan sastra. Seiring waktu berjalan, sambil kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Halimah Munawir bergelut di dunia jurnalis sebagai kuli tinta, bertemu dengan berbagai kalangan, yang konon ruang dalam kepala semakin semarak dengan imajinasi. Bukan hanya bait demi bait yang tertuang dalam diary lalu memajangnya di majalah dinding sekolah.
Tepatnya sewaktu berkerja di Harian Indonesia, dipercaya untuk mengisi kolom Pengusaha Pengusaha Sukses, 30 tahun yang lalu, lalu bertemu dengan dua tokoh perempuan yang menjadikan jamu sebagai racikan turun temurun yang kini mendunia, yakni BRA. Moeryati Soedibyo dan DR. Martha Tilar.
“Imajinasi saya terus bergumul dalam kepala jiwa sastra memanggil, dan jadilah cerpen perdana berjudul JAMU, di terbitkan di Harian Indonesia,” kata Halimah.
Pada tahun 2000-an, sedikit novel yang mengupas seputar budaya. Pada saat itu yang popular dan fenomenal diantaranya adalah novel Harry Potter, Laskar Pelangi , Negeri 5 Menara, dan ada juga yang mengangkat tentang Vanpir yang laku di pasar dan masuk layar lebar. Namun di tahun 2011 sebagai awal Halimah Munawir menulis novel, justrul mengambil tema dan cerita yang tidak popular yakni The Sinden. Mungkin karena panggilan jiwa seorang yang cinta budaya. Akunya, tak dapat di pungkiri dalam memulai untuk di terbitkan sebenarnya diliputi keraguan. Namun atas dorongan sahabat Jonminofri, keraguan itu sirna apalagi waktu lolos kurasi penerbit besar Gramedia. Walau tidak masuk novel yang fenomenal, The Sinden ternyata dijadikan referensi skripsi dan pergelaran teater. Namun tak sedikit juga yang mencela. Namun hal itu bagi Halimah Munawir adalah wajar.
“Pro kontra pasti ada. Sebuah karya mengutamakan kebebasan bathin penulis, bukan kesenangan orang lain. Karena novel dapat diibarat kita akan menjahit baju untuk kita pakai. Diawali memilih bahan lalu berimajinasi tentang model, membuat pola dan menggunting serta menjahitnya. Ketika di pakai tentu akan mengundang banyak presepsi yang berbeda satu sama lain. Disini saya menekankan bahwa jangan takut untuk memulai menerbitkan karya sastra (Moel)