Makassar, LENSANUSANTARA.CO.ID -DPRD Provinsi Sulawesi Selatan bersama Pemerintah Provinsi resmi menandatangani nota kesepakatan Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Ranwal RPJMD) Tahun 2025-2029 dalam rapat paripurna yang berlangsung, Senin, 21 April 2025.
Namun, dalam proses pembahasan RPJMD, sejumlah catatan penting disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPRD terkait substansi dan konsistensi perencanaan dalam dokumen tersebut.
Ketua Pansus RPJMD DPRD Sulsel, Andi Patarai Amir, menyampaikan bahwa terdapat 14 isu krusial yang menjadi perhatian dalam penyusunan.
Salah satu yang disorot adalah belum terintegrasinya secara strategis pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD dalam prioritas pembangunan yang termuat dalam RPJMD. Padahal, menurutnya, pokir merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat yang memiliki dasar hukum jelas dan harus diakomodasi secara eksplisit sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017.
“Pokok pikiran berdasarkan hasil penjaringan aspirasi masyarakat di mana lingkupnya bersumber dari politik, partisipasi, bawah-atas yang didukung naskah akademik, dan menjadi bagian dari pembobotan belanja berdasarkan kebutuhan masyarakat,” kata Andi Patarai ketika membacakan masukan DPRD terkait RPJMD tersebut.
Pansus juga menyoroti ketidaksesuaian periodesasi dalam dokumen RPJMD yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Instruksi Menteri Dalam Negeri.
“Atas temuan tersebut disarankan agar Pemerintah Daerah konsisten menggunakan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan sebagai rujukan utama /payung hukum pembentukan RPJMD,” ucap Patarai.
Selain itu, pendekatan dalam penyusunan dokumen dinilai terlalu menekankan aspek teknokratik, tanpa menggambarkan pendekatan lain seperti partisipatif, politis, spasial, dan holistik-tematik sebagaimana yang diamanatkan oleh regulasi terbaru.
Dalam dokumen tersebut juga ditemukan perbedaan antara visi dan misi calon gubernur yang telah disampaikan ke KPU Provinsi dengan yang tercantum dalam rancangan awal RPJMD.
Dari delapan misi yang tercatat saat pencalonan, hanya empat yang dimuat dalam dokumen, dan terjadi perbedaan makna dalam rumusan misi yang ada. Hal ini menurut Pansus akan menjadi bahan konsultasi lebih lanjut ke Kementerian Dalam Negeri.
Pansus juga mencermati perbedaan antara jumlah program prioritas yang diajukan saat pencalonan gubernur sebanyak 45 program, tapi hanya delapan program yang tercantum dalam RPJMD. Selain itu, struktur penulisan dokumen dinilai belum konsisten dengan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 yang menjadi pedoman utama penyusunan RPJMD.
Dari sisi keuangan, Pansus mengingatkan bahwa proyeksi peningkatan pendapatan daerah dalam RPJMD tampak terlalu optimistis tanpa disertai strategi fundamental yang mampu mereformasi struktur pendapatan asli daerah (PAD).
Dalam dokumen RPJMD memproyeksikan peningkatan pendapatan daerah dari Rp10,37 triliun tahun 2025, menjadi Rp12,31 triliun di tahun 2030, dengan target PAD rata-rata mencapai 2,21%.
Tapi target pertumbuhan rata-rata PAD sebesar 2,21% per tahun dinilai tidak realistis, mengingat pertumbuhan historis hanya berkisar 1,64% selama lima tahun terakhir.
“Sehingga Pansus merekomendasikan kepada Pemerintah agar perlu ada simulasi risiko fiskal jika pertumbuhan ekonomi nasional melambat atau kebijakan transfer pusat berubah. Selanjutnya kami meminta agar dilakukan rencana konkret Pemerintah Provinsi untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan yang terukur, serta basis data wajib pajak yang solid serta tidak menambah beban masyarakat kecil dan pelaku UMKM,” ujarnya.
Terkait indikator makro pembangunan, seperti angka kemiskinan dan Gini Ratio, meski menunjukkan perbaikan, dinilai belum signifikan.
RPJMD memuat target ambisius seperti menurunkan angka kemiskinan di bawah 6% dan mencapai pertumbuhan ekonomi 6,1%. Pansus menilai hal tersebut memerlukan strategi mitigasi yang konkret, terutama mengingat ketergantungan fiskal daerah terhadap kebijakan pusat dan dinamika ekonomi global.
Partisipasi publik juga menjadi sorotan. Meskipun diklaim melibatkan berbagai pemangku kepentingan, masukan dari masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha belum terlihat berpengaruh secara proporsional dalam penentuan program prioritas. Pansus mendesak adanya dokumentasi kontribusi stakeholders yang bisa menjadi pijakan arah kebijakan ke depan.
Pansus juga mengingatkan pentingnya konsistensi antara visi dan misi kepala daerah terpilih dengan dokumen RPJMD. Visi “Sulsel Maju dan Berkarakter” telah dimuat secara formil, namun indikator kinerja terkait pembangunan karakter sosial dan budaya belum terlihat secara eksplisit.
Ada kekhawatiran bahwa keberlanjutan terhadap program-program sebelumnya yang kurang efektif justru akan melemahkan capaian pembangunan yang baru.
Lebih jauh, belum terdapat skenario antisipasi terhadap perubahan kebijakan fiskal nasional seperti program makan siang gratis atau subsidi pangan. Demikian pula, evaluasi efektivitas belanja daerah dinilai masih lemah karena belum menggunakan pendekatan seperti Incremental Capital Output Ratio (ICOR), yang penting untuk mengukur dampak belanja terhadap pertumbuhan ekonomi riil.
Pansus juga menyoroti belum adanya roadmap pembiayaan jangka menengah yang menjelaskan strategi pengelolaan utang daerah. Tidak ditemukan kajian keberlanjutan fiskal seperti Debt Sustainability Analysis (DSA) dalam dokumen. Padahal, penting bagi Pemprov untuk memproyeksikan dampak fiskal apabila terjadi penurunan pendapatan atau pelemahan nilai tukar di masa mendatang.
Dengan berbagai catatan tersebut, Pansus DPRD Sulsel mendorong adanya revisi dan penyempurnaan dokumen RPJMD sebelum difinalisasi sebagai rujukan utama pembangunan daerah lima tahun ke depan.
Ia menegaskan bahwa RPJMD bukan hanya sekadar dokumen administratif, tetapi harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat serta mampu menjawab tantangan pembangunan yang semakin kompleks.
“Strategi fiskal 5 Tahunan terhadap Utang Jangka Menengah. Di dalam dokumen Ranwal RPJMD belum menyajikan roadmap pembiayaan jangka menengah dan analisis keberlanjutan fiskal terhadap pinjaman daerah,” imbuhnya. (MUchtar)