Oleh : Hermanto Rochman. (Dosen Fisip Unej dan Pemerhati Kebijakan Publik).
Hampir pemilu 2024, warga Indonesia menyebutnya pesta demokrasi. Di sinilah masyarakat akan disodorkan memilih calon wakil rakyat, mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi sampai ke pusat. Selain itu masyarakat juga akan menyalurkan haknya memilih Bupati, Gubernur hingga Presiden secara langsung di tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS).
Tepatnya 14 Februari 2024 nanti, pesta demokrasi itu akan dilaksanakan yakni pemilu presiden dan pemilu legislatif. Lalu kita harus bagaimana?
Tetap gunakan hak pilih kita sebagai warga negara yang baik. Namun perlu diingat ‘Masyarakat Jangan Memilih Partai dan Pemimpin Yang Melakukan Praktek Jual Beli Jabatan’.
Jual-beli jabatan, menurut saya adalah upaya melakukan komersialisasi terhadap birokrasi. Dari sini, ada potensi korupsi turunan budaya korupsi baru yang secara berjenjang mulai dari jabatan yang paling tinggi ke jabatan yang lebih rendah dan dilakukan berulang ulang jika tidak mampu diantisipasi dan dicegah.
Secara instrumen Kebijakan dan aturan hukum formilnya UU ASN sudah mengatur dan nembuat desain seleksi yang bagus. Dulu melalui kepangkatan, saat ini ada lelang jabatan bahkan melalui proses assessment, jika tidak puas dan menemukan pelanggaran juga bisa masuk sengketa aduan untuk disampaikan ke KASN.
Komisi ASN dapat turun ke lapangan untuk mengecek kebenaran dokumen atau mendapatkan situasi langsung yang ada di lapangan. Bila sudah meyakini bahwa bukti-bukti yang didapat kuat, barulah Komisi ASN mengeluarkan rekomendasi. Namun problemnya rekomendasi yang disampaikan Komisi ASN seringkali tidak ditindaklanjuti. Padahal, Pasal 120 ayat (5) UU ASN tegas menyatakan bahwa rekomendasi Komisi ASN bersifat mengikat para pihak. hanya saja, karena kewenangan Komisi ASN tidak berdampak langsung pada aspek kepegawaian maupun keuangan terhadap ASN, maka sulit untuk membuat efek jera.
Belum lagi problem jika jual beli itu sudah jadi budaya suap dalam birokrasi, namanya suap orang yang menyuap dan disuap takut untuk melapor. Kalau kita mau melaporkan ke KPK pasti ada indikasi yang kuat. Kalau hanya gossip biasa, itukan belum bisa. Maka imi tantangan kita untuk meng-encourage supaya masyarakat mau melaporkan.
Sebetulnya ada cara paling sederhana yang dapat mengurangi potensi tersebut terdapat dua instrument, pertama dimulai lewat peran Partai Politik (parpol) dan yang kedua peran masyarakat sebagai pemilih. Bila parpol mengendus ada kader partai mereka yang meminta sejumlah uang, maka sejatinya parpol wajib memecat orang yang bersangkutan sebagai anggota parpol. Sedangkan bagi masyarakat, kuncinya ada saat melaksanakan hak politiknya baik pada partai atau pemimpin yang mentolerir atau melakukan dengan jelas jelas praktek jual beli jabatan atau suap maka harus pertimbangkan kembali untuk memilihnya.
Jadilah pemilih yang cerdas pada pemilu nanti. Selektiv dan jangan tergiur dengan uang sogokan untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin baik tingkat Kabupaten/kota, sampai ke pusat.