Banjarnegara, LENSANUSANTARA.CO.ID – Berbicara masalah nguri-nguri budaya mungkin bagi orang Jawa hal itu seolah sudah menjadi kewajiban untuk d lestarikan, terutama masyarakat yang tinggal di desa. Mereka secara berbondong-bondong ke makam atau petilasan yang dipercaya sebagai leluhur dimasa lalu, untuk mendoakan dan meminta berkah kepada Sang Kuasa melalui sebuah perantara para sesepuh yang sudah lebih dulu menghadap sang Illahi dan bersyukur dengan apa yang telah diberikannya selama hidup di alam semesta ini.
Bagi orang Jawa, mendekati bulan Ramadhan, beberapa daerah masih kental dengan selalu menjaga tradisi nenek moyang secara turun temurun.
Mendekati bulan Ramadhan 1445 Hijriah misalnya. Selain membersihkan makam keluarga, ada juga namanya Nyadran, tentu dengan cara-cara yang berbeda. Seperti di Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja. Desa yang menjadi batas antara Kebumen- Banjarnegara, setiap tahun selalu mengadakan kegiatan ‘Grebeg Sadran Agung Adisara‘.
Acara yang dihadiri Staf Ahli Bupati Banjarnegara Bidang Pembangunan Ekonomi Keuangan Drs. Tulus Sugiharto M.Si, Ketua Paguyuban Kawulo Kraton Surakarta Cabang Jepara Kanjeng Raden Aryo Tumbenggung Bambang Setiawan dan Ketua Pakasa Cabang Banjarnegara KRAT Eko B. Tirto Nagoro dengan pakaian kraton begitu kental dengan aura kerajaan zaman dahulu, dan juga iringan prajurit berseragam lengkap dengan pusaka dan tombak.
Dalam Grebeg Sadran Agung Adisara itu, pengamatan lensanusantara.co.id, juga dilakukan pergantian klambu atau biasa disebut ‘Suleh Langse’ yang diadakan setahun sekali dengan ditandu empat orang prajurit.
Menurut KRAT Bambang Setiawan, Sadran Agung Adisara baru dilakukan empat kali, yang dimana empat tahun lalu dengan diawali sebuah ukiran khas Jepara di pintu masuk makam.
“Ini baru empat kali, dengan diawali dulu pemasangan ukuran di pintu masuk cungkup, juga di tahun kedua dilakukan kirab, namun kami rombongan Brogodo Korsik Suro Projo baru hadir di tahun ini, dengan kekuatan baru sepertiganya, jadi hanya 58 orang hari ini yang datang,” jelas KRAT Bambang, Kamis, (7/3/2024).
Terkait padatnya agenda Kasultanan Surakarta, KRAT Bambang juga mengatakan. “Kebetulan para pengageng, gusti-gusti, karena bulan ruwah ini padat sekali acaranya, itu mulai didalam kraton hingga ziarah ke leluhur-leluhur Mataram, akhirnya mengutus kami berdua yaitu dengan Ketua Pakasa Banjarnegara, dan dapat palilah dari kraton Surakarta Hadiningrat,” tuturnya.
Hal sama juga disampaikan Ketua Pakasa Banjarnegara KRAT Eko B Tirto Nugroho, dirinya kepada wartawan menambahkan, ada dua acara yang seharusnya dihadiri, karena keterbatasan anggota dan waktu yang bersamaan, akhirnya dibagi dua penugasan.
“Aslinya ada dua acara, disini sama Gumelem, karena waktunya bersamaan, akhirnya anggota kita bagi dan juga sudah ada disana sejak pagi tadi,” jelas Ketua Pakasa Banjarnegara KRAT Eko.
Banyaknya oknum-oknum yang saat ini marak membawa nasab untuk kepentingan pribadinya, kepada Lensa Nusantara, KRAT Bambang memberikan pesan, jangan sampai terlalu percaya dengan banyaknya mengaku keluarga kraton.
“Kepada masyarakat saya menghimbau agar jangan percaya dulu dengan banyaknya berita di media massa tentang nasab. Dilihat dulu trah tumatrahnya, jangan sampai jangan sampai kejadian itu kayak yang sudah-sudah. Apalagi di desa banyak yang tidak paham, misalnya ada makam yang diakui dari Mataram ternyata tidak, jadi jangan sampai kejadian yang sudah-sudah terjadi lagi nantinya. Karena menentukan garis keturunan atau trah memang sulit, hanya keluarga kasultanan saja yang bisa mengurutkan garis trah tersebut,” tambah KRAT Bambang yang datang bersama istri dan rombongan dari Jepara.
Acara Sadran Agung Adisara yang dilaksanakan selama dua hari yaitu tanggal 6-7 Maret, juga diadakan syukuran bersama dan membawa gunungan berisi hasil bumi serta penampilan beberapa atraksi dari masyarakat setempat, seperti pertunjukan kuda kepang dan tarian dari segala umur. (Gunawan)