Berita

Akademisi Nilai Banjir Jember Dipicu Kerusakan DAS dari Hulu hingga Hilir

1728
×

Akademisi Nilai Banjir Jember Dipicu Kerusakan DAS dari Hulu hingga Hilir

Sebarkan artikel ini
Lokasi Pasca Banjir di Perumahan Villa Indah Tegal Besar, Kamis (18/12/2025).(Foto: Badri/ Lensa Nusantara)

Jember, LENSANUSANTARA.CO.ID – Hujan deras berintensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Jember sejak Senin sore hingga malam, 15 Desember 2025, kembali memicu banjir di berbagai wilayah. Curah hujan yang turun selama berjam-jam tanpa jeda menyebabkan debit Sungai Bedadung dan Kali Jompo meningkat pesat hingga meluap ke permukiman warga, Kamis (18/12/2025).

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ Bambang Herry Purnomo, mengatakan bahwa banjir kali ini tidak semata dipicu oleh hujan lokal, tetapi juga oleh akumulasi aliran dari wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan tutupan lahan cukup signifikan.

Example 300x600

“Akibatnya, sejumlah sungai utama di Jember tidak lagi mampu menampung limpasan air. Kondisi tersebut diperparah oleh keterbatasan drainase perkotaan, sedimentasi sungai, serta menyempitnya ruang alir akibat aktivitas manusia di sepanjang bantaran sungai,” ungkapnya.

Sedikitnya 20 titik banjir dilaporkan terjadi di sejumlah kecamatan, terutama kawasan permukiman padat dan wilayah dataran rendah. Wilayah terdampak meliputi Kecamatan Patrang, Kaliwates, Sumbersari, Pakusari, Kalisat, dan Rambipuji.

“Beberapa kawasan yang terendam antara lain Perumahan Villa Indah Tegal Besar di Kelurahan Tegal Besar, permukiman di Jalan Ciliwung Kelurahan Jember Lor, Jalan Slamet Riyadi Kelurahan Patrang, serta bantaran Sungai Bedadung di Jalan Sumatera, Kelurahan Sumbersari,” lanjutnya.

BACA JUGA :
Geger Warga Desa Keting Jember Temukan Mayat Perempuan Tanpa Identitas, Diduga Korban Pembunuhan

Menurut Bambang, selain merendam rumah warga, banjir juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi. Akses transportasi di sejumlah titik terganggu akibat jembatan yang rusak atau terendam air.

“Wilayah dengan dampak terparah dilaporkan berada di Kecamatan Rambipuji, khususnya Desa Nogosari, dengan jumlah kepala keluarga terdampak paling besar dibandingkan daerah lain,” imbuhnya.

Secara spasial, pola banjir menunjukkan keterkaitan yang kuat dengan koridor DAS, terutama DAS Kali Bedadung yang melintasi kawasan perkotaan Jember. Luapan juga terjadi pada sejumlah anak sungai seperti Kali Jompo, Kali Mayang, Kali Rembangan, dan Kali Dinoyo.

“Banjir bukan lagi persoalan lokal semata, melainkan masalah sistemik DAS yang saling terhubung dari hulu hingga hilir, namun selama ini dikelola secara terpisah-pisah,” tambahnya.

Banjir di Jember pada hakikatnya merupakan masalah struktural, bukan semata akibat hujan lebat. Perubahan iklim memang memicu peningkatan frekuensi hujan ekstrem, namun pada sistem hidrologi yang sehat, hujan dengan intensitas tinggi seharusnya masih dapat dikelola.

“Fakta bahwa hujan dengan karakteristik serupa kini kerap berujung pada banjir serius menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di Jember telah menurun. Dalam konteks ini, hujan ekstrem lebih tepat dipandang sebagai pemicu, sementara akar persoalan terletak pada tata ruang dan pengelolaan DAS yang belum berkelanjutan,” menurutnya.

BACA JUGA :
LSM KPK Layangkan Laporan ke Kejaksaan Jember Terkait Dugaan Korupsi TKD Balet Baru

Penurunan fungsi hidrologis DAS Kali Bedadung, Kali Jompo, dan anak-anak sungainya tampak nyata akibat alih fungsi lahan di wilayah hulu dan tengah. Perubahan lahan menjadi kawasan terbuka, perkebunan, infrastruktur, hingga permukiman meningkatkan limpasan permukaan, erosi, dan sedimentasi.

“Sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan sehingga kapasitas tampung air terus menurun. Dalam kondisi rapuh seperti ini, hujan lebat akan dengan mudah memicu banjir, sementara penanganan yang parsial justru berpotensi memindahkan masalah ke wilayah hilir,” sebutnya.

Kejadian banjir ini juga menyingkap persoalan tata ruang yang serius. Saat inspeksi lapangan, Bupati Jember bersama jajaran Pemkab menemukan sejumlah permukiman berdiri sangat dekat, bahkan sebagian berada di bantaran sungai.

“Di beberapa lokasi, ketinggian air mencapai 1,2 meter dan memaksa warga mengungsi. Dampak banjir pun tidak hanya berupa kerusakan fisik, tetapi juga beban sosial, ekonomi, dan penanganan darurat bagi pemerintah daerah,” terangnya.

Lebih lanjut secara regulatif, kawasan DAS dan sempadan sungai merupakan wilayah lindung yang seharusnya bebas dari pembangunan permanen. Ketentuan ini bertujuan menjaga fungsi sungai sebagai ruang aliran air, kawasan resapan, dan pengendali banjir alami. Ketika prinsip kehati-hatian ini diabaikan melalui pelonggaran izin atau penafsiran aturan yang terlalu permisif, risiko banjir akan terus meningkat dan menumpuk, hingga akhirnya ditanggung masyarakat luas.

BACA JUGA :
Program Gus’e Menyapa Kian Diminati, Bupati Jember Komitmen Penuhi Kebutuhan Petani

“Pembangunan permukiman oleh pengembang di kawasan dekat DAS patut menjadi perhatian serius. Secara prinsip, pengembang wajib memahami pembatasan tersebut dan memiliki AMDAL sebagai instrumen pencegahan risiko lingkungan,” kata dia.

Namun dalam praktiknya, AMDAL kerap diperlakukan sekadar sebagai dokumen administratif. Analisis daya dukung, risiko banjir, dan perubahan hidrologi sering disusun normatif dan jarang diuji pada skenario ekstrem. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan pasca-izin serta kurangnya integrasi dengan rencana tata ruang dan koordinasi antarinstansi.

“Ke depan, banjir ini seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Kabupaten Jember untuk bersikap lebih tegas dan korektif. Evaluasi menyeluruh terhadap pembangunan permukiman, baik yang direncanakan maupun yang telah berdiri di sempadan sungai, perlu segera dilakukan. Penertiban, pembatasan, hingga sanksi terhadap pelanggaran harus diterapkan secara konsisten, meskipun tidak populer. Normalisasi sungai pun perlu dilakukan secara terencana dan berbasis ekologis, bukan sekadar pengerukan darurat,” tegasnya.

Tanpa pembenahan tata ruang, penegakan hukum yang konsisten, pemulihan DAS dari hulu hingga hilir, serta koordinasi kelembagaan yang kuat, banjir di Jember akan terus berulang dan selalu datang sebagai kejutan yang sebenarnya dapat diprediksi.

“Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bersama, bagi masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten Jember dapat belajar jadi kejadian banjir ini,” tungkasnya.