Magetan, LENSANUSANTARA.CO.ID – Persidangan perkara sengketa tanah antara keluarga almarhum Agli melawan keluarga almarhum Heri kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Magetan, Rabu (5/11/2025). Dalam sidang tersebut, pihak penggugat menghadirkan tiga alat bukti surat dan satu orang saksi.
Kuasa hukum penggugat, Darsi, SH, menjelaskan bahwa tiga alat bukti yang diajukan meliputi surat kuasa yang dibuat di hadapan notaris, akta jual beli (AJB) tahun 2000, serta buku tanah. Menurutnya, akta jual beli tersebut cacat hukum karena dibuat setelah pemberi kuasa, yakni almarhum Agli, telah meninggal dunia pada tahun 1997.
“Kuasa itu seharusnya gugur karena pemberi kuasa sudah meninggal. Tapi AJB tetap dibuat tahun 2000 tanpa melibatkan ahli warisnya,” jelas Darsi usai sidang.
Ia menambahkan, buku tanah menunjukkan bahwa kepemilikan sudah berpindah beberapa kali meskipun dasar peralihannya menggunakan kuasa yang sudah tidak sah.
“Sertifikat bisa berubah nama ke para tergugat padahal kuasanya tidak lagi berlaku,” imbuhnya.
Selain itu, satu orang saksi yang dihadirkan menyatakan bahwa sejak tahun 2000 hingga sekarang, tanah dan rumah tersebut masih ditempati oleh Bu Yohana, istri almarhum Agli, bersama anak-cucunya. “Selama 25 tahun tidak pernah ada yang mengusik atau mengklaim tanah itu,” ujar Darsi.
Menurutnya, proses jual beli yang dilakukan dengan kuasa yang telah gugur menyalahi hukum, apalagi tanah tersebut merupakan harta gono-gini antara Agli dan istrinya. Ia juga menilai ada kelalaian dari pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tidak mengetahui bahwa pemberi kuasa sudah meninggal.
“PPAT bilang tidak diberi tahu kalau Pak Agli sudah meninggal. Di situ letak kecurangannya. Kalau diberi tahu, pasti dicari ahli warisnya dulu,” tegas Darsi.
Sementara itu, dari pihak penggugat Ari Kristianti, anak almarhum Agli, menuturkan bahwa akar permasalahan bermula dari utang piutang sebesar Rp15 juta yang dilakukan orang tuanya kepada almarhum Heri. Menurutnya, keluarga sudah berupaya melunasi utang tersebut, namun selalu dipersulit.
“Ibu saya pernah datang bawa uang Rp15 juta, lalu Rp30 juta, bahkan Rp50 juta, tapi selalu ditolak. Terakhir malah diminta Rp125 juta. Kami sudah tidak sanggup, dan tiba-tiba tanah sudah dibalik nama,” kata Kristin.
Kuasa Hukum Tergugat: Sertifikat Terbit Sesuai Prosedur Kuasa hukum pihak tergugat, Gunadi SH membantah adanya kejanggalan dalam penerbitan sertifikat. Menurutnya, kliennya, Elizabeth, Paulus Hermawan, dan Yuliana, memperoleh tanah tersebut secara sah sebagai ahli waris dari almarhum Heri.
“Klien kami memegang sertifikat asli yang diterbitkan resmi oleh BPN. Sertifikat tidak akan terbit kalau ada persyaratan yang tidak dipenuhi,” ujar Gunadi.
Ia juga menegaskan bahwa dalam proses akta jual beli, istri almarhum Agli, yakni Bu Yohana, turut hadir dan menandatangani dokumen di hadapan notaris.
“Beliau hadir dan ikut menandatangani akta jual beli. Jadi kalau sekarang menggugat, itu sama saja mengingkari perjanjian yang sudah dibuatnya sendiri,” lanjutnya.
Gunadi menilai, bila pihak penggugat menduga ada kecurangan dari notaris, hal itu berada di luar kewenangan pihak tergugat.
“Kalau memang ada dugaan seperti itu, biar notarisnya yang menjelaskan. Kami hanya memastikan proses jual beli sudah sesuai prosedur,” tuturnya.
Menurut Gunadi, bisa jadi kasus ini berawal dari hubungan utang-piutang yang kemudian berubah menjadi jual beli karena pihak peminjam tidak mampu melunasi kewajiban. “Mungkin dulu awalnya gadai, lalu karena tidak bisa menebus, disepakati jadi jual beli.” pungkasnya.














